Oct 29, 2007

keliling Jawa, melamun di cadas Trenggalek-Ponorogo...(5)




TATKALA mobil kami meliuk-liuk di perbukitan cadas antara Trenggalek-Ponorogo, di sisi selatan Jawa Timur, pada tiga pekan lalu, aku sempat melamunkan 2 orang teman baik di jaman mahasiswa -- mereka berasal dari kedua wilayah kering itu. Kemana mereka sekarang, apakah mereka kembali ke kampungnya? Apakah mereka ada pertanyaan yang sama tentang akar, soal masa lalu?

Sugiyono, salah-seorang diantaranya, tinggal di sebuah dusun di Ponorogo, yang sebagian besar lahannya dikenal kering. Kukenal sebagai lelaki bersahaja (dia pernah cerita naik sepeda dari Ponorogo-Malang, yang berjarak 180 kilometer!), tapi minatnya untuk berbisnis, tinggi sekali. Tapi itu dulu. Enam tahun lalu, dengan kalimat murung di dalam kertas surat berwarna merah muda, dia berkata," saya sekarang memilih menjadi petani.." Kubalas surat itu, tapi setelah itu kami kehilangan kontak -- teman baik itu hilang seperti ditelan bumi...

Sepanjang perjalanan dari Trenggalek ke Ponorogo, yang berjarak 41 kilometer, kami disuguhi panorama musim panas yang kering -- selain jalanannya yang meliuk-liuk. Perbukitan warna coklat muda terlihat di kanan-kiri, diselingi sungai kering yang menyedihkan (aku bayangkan, alangkah indahnya jika hujan menghijaukan pebukitan tandus itu). Tapi sinar matahari tampaknya tak peduli, dibuatnya daun-daun pepohonan jati jadi meranggas -- saya ingat wilayah Ponorogo yang berbukit kapur seluas 137 ribu hektar, yang subur hanya 37 ribu hektar..

Perbukitan di sepanjang Tulungagung, Trenggalek dan Ponorogo adalah bagian dari Pegunungan Kidul, di sisi selatan Jawa itu, memang hampir sepenuhnya berkapur. Kota Tulungagung, misalnya, yang kami lalui, setelah meninggalkan kota Blitar, dikenal sebagai daerah penghasil marmer -- batuan kristal kasar yang berasal dari batu gamping atau dolomit.

Bagiku, dan utamanya istriku (serta anakku, tentu saja), perjalanan melintas jalur selatan (di daerah Jawa Timur) adalah yang pertama. Sepanjang masa mudaku di Malang, sama-sekali tidak pernah melanglang sampai perbukitan Trenggalek- Ponorogo itu tadi -- jarak terjauh yang kutempuh hanya sampai Tulungagung, itu pun lebih dari 20 tahun silam, ketika studi wisata sekolah dasar..

Tapi alasan kami memilih melalui jalur itu, yaitu jauh dari macet, sama-sekali tidak meleset. Jalanan relatif lengang, sehingga dalam jarak sekitar 60 kilometer dari Blitar, kami bisa mengisi perut di sebuah warung di kota Trenggalek -- tentu saja, kami tak mengkonsumsi sate kuda, yang iklannya gampang dijumpai di sepanjang kota itu.

Dengan target berikutnya adalah kota Solo atau Yogya sebagai tempat istirahat, kami memutuskan melalui Ponorogo. Alasannya, jaraknya relatif lebih dekat ketimbang jika kami turun ke bawah (maksudnya ke selatan) melalui jalur Pacitan. "Dan coba lihat, hanya ada jalan lurus antara Ponorogo ke Wonogiri (Jawa tengah), sebelum ke Solo," kataku seraya memperlihatkan peta itu kepada istriku.

Jarak Ponorogo-Wonogiri sekitar 73 kilometer, melalui kota-kota kecil seperti Purwantoro, Jatisrono, dan Ngadirejo. Di sini, jalanan relatif tidak berbukit serta landai. Sawah-sawah menghijau juga mulai gampang ditemui -- kami lantas istirahat pada sebuah pom bensin yang kana -kirinya diwarnai hijaunya sawah..

Menjelang senja, mobil kami mulai merapat kota Wonogiri, yang letaknya tidak jauh dari Waduk raksasa Gadjah Mungkur -- sayangnya kami tak melihat wujud fisiknya. Di sini kami menanjak terus, dan sepertinya membelah sebuah bukit, sebelum masuk ke kawasan landai yaitu kota Sukoharjo -- 10 kilometer dari kota Solo.

"Apakah kita istirahat, cari hotel si Solo saja," kataku pada istriku, saat mobil kami mulai merayap di jalanan kota itu. Istriku ragu, dan akhirnya kami toh memilih Yogya sebagai tujuan istirahat, walau hari terus beranjak malam. "Rasanya nanggung kalau istirahat di Solo," jelas Ika..

Perut yang terasa lapar, apalagi gerimis mulai merayap, memaksa kami berhenti pada sebuah warung bebek goreng di jalanan Kota Kartosuro, 11 kilometer dari pusat kota Solo. "Lumayan enak rasanya, walau ukurannya gede sekali dan sambalnya pedas minta ampun," jawabku, setengah berdesis, setelah istriku meminta komentarnya atas kualitas makanan.

Malam itu, kami melanjutkan perjalanan, merayapi Kartosuro, Delanggu, Klaten, Prambanan, hingga akhirnya tiba di Yogyakarta.. (bersambung)

26 comments:

ika ardina said...

emang endang bambang halimah mayangsari banget deh... sayang ukurannya itu sempat bikin ga nafsu:d

UmmiMia Mia said...

padi menghijau dan aida...bagus banget perpaduannya.....

krisna diantha said...

cemburu rek

haris fauzi said...

pondok gontor ponorogo...lewat gunung kumitir...liukannya memang bikin gak sempat nyandar......
coba mas affan tanyakan ke istrinya..."pas nyopir di liukan itu punggungnya nyandar ga ?"

niniel wda said...

Untung gak mampir Pacitan. .. Ponorogo Pacitan, jalannya berkelok terjal. Ada 365 belokan. Belum lagi Pacitan Wonogiri.. huh. Tapi capeknya bisa terbayar melihat pasir pantai yang masih putih.. bersih.

restu dewi said...

waktu musim kemarau disana-sini kering kerontang....aku juga ke Ponorogo seminggu setelah lebaran kemarin...takjiah..ada saudara yg disanameninggal...pokoke nek wis ndik patung reog lega banget..malah si Restu sempat tak bangunkan untuk melihat patung itu.

niniel wda said...

begor? waa.. ngeces dot com

Affan Alkaff said...

awalnya terasa enak, tapi terasa kenyang setelah lihat fisiknya yang gede :) hehehe..

Affan Alkaff said...

Mia, itu bapaknya yang sedikit memaksa, agar dia mau berfoto dengan latar sawah itu.. untungnya dia nggak menolak.. (biasanya dia enggan seraya berkata 'walid norak'), dan tersenyum lagi :)

Affan Alkaff said...

yuk, Kris, kita keliling Jawa (lagi) hehehehe

Affan Alkaff said...

ntar kutanyakan, Ris... aku sendiri nggak perhatian ya... memang aku sempat melihat pondok Gontor itu... Eh, kenapa sampai punggungnya nggak nyandar, Ris? :)

Affan Alkaff said...

Hehehe.. Pebukitannya memang kering. nggak tahu kalau musim penghujan ya, apakah rimbun atau tidak...

Nah, kalau anakku, Aida, akan mulai bertanya kalau jalanannya sepi. "Ini hutan ya, kok nggak ada orang. ada binatang buas nggak..." Pokoknya dia akan bertanya seperti itu, kalau tengah lewat jalanan seperti di Ponorogo, Pujon... Ya kita akhirnya membujuk: nanti pasti ada orang lewat, itu ada rumah penduduk, mana ada binatang buas di kota bla-bla... :)

Affan Alkaff said...

sedap Nil, asal lapar betul, dan bentuknya jangan gede-gede ya hehehehe

Affan Alkaff said...

boleh Nil, rute Ponorogo-Pacitan-Wonogiri, ntar kami coba... siapa takut :) hehehehe

haris fauzi said...

gak nyandar karena konsentrasi ke jalan...jadi mata ini ingin maju terus aja....
kaya kao kita kelamaan konsentrasi ke komputer, pasti muka kita lama2 maju terus ke monitor..kalo kelamaan ntar kejedug..:)

Affan Alkaff said...

Makasih kawan...

Ris, kayaknya aku harus segera belajar (lagi) nyopir, nih..

haris fauzi said...

nyetir itu mengasyikkan...saya usahakan gitu..soalnya jarak kantor ke rumah tuh 100km..kalo ga demen nyetir bisa puyeng...

restu dewi said...

kemarin waktu kembali ke Malang sama saudaraku disuruh lewat jalan lintas..yg katanya mengirit perjalan sekitar 40-50 km..waktu mau keluar dari Tulungagung-kota trus belok kanan gitu lo...aku nggak ngerti ..pas keluar udah sampai di Srengat..jadi tidak melewati Tulungagung kota...Blitar yg daerah kab-...jadi cepat perjalanannya sekitar 30-45 menit

Affan Alkaff said...

dan konon nyopir itu ngurangi kepikunan ya.. :)

Affan Alkaff said...

boleh dicoba nih... :)

niniel wda said...

Yang dimaksud itu daerah Ngantru. Jadi dari Tulung Agung ke arah Kediri,, abis jembatan perbatasan.. ambil ke kanan.. lurus aja. Nanti j alannya cabang dua.. jangan belok kiri.. lurus.. tembus blitar .. malah gak lewat Srengat ! hemat 20 kilo. Itu ruteku jaman masih SMA, kalo abis nyekar atau main ke Popoh, Tulung Agung.

Kalo dari Kediri mau ke Blitar.. dari terminal lama.. lurus aja.. jangan ambil ke kanan (jalur bis yang mau ke tulung agung). ntar sampai srengat, blitar. Udah hemat 20 kilo juga.

ika ardina said...

Nyetir itu selain mengasyikkan, membuat perasaan berkuasa dan terapi untuk mencegah kepikunan mas...

ika ardina said...

Nyandar mas... Ngga nyandar klo minta digaruk punggung aja...:D

haris fauzi said...

kalo saya pas tertantang gitu nyetirnya gak nyandar, soalnya sandaran mobil saya rebah banget...nyaris tidur....pokoknya kalo pas nyandar habis tuh kap mesin hampir ga kelihatan....
kakak saya kalo liat saya nyetir gitu selalu bilang, " nyetir kepala rebahan gitu, ..pegang setir satu tangan, ...musiknya keras lagi....ntar kalo sampe tertidur awas....!".

Affan Alkaff said...

Pantai Popoh? Ya, ampun lama sekali, aku nggak ke sana.. terakhir tahun 1981, acara studi wuisata lulusan SD....

Affan Alkaff said...

makasih... tapi luar biasa, sampai hafal secara detil.. memang daerah ring 1 sampeyan, ya Nil? :)