Oct 5, 2007

"aduh, leherku patah!"




SEKITAR dua pekan lalu, seorang wartawan dan penyiar Metro TV, yang pernah diculik saat meliput di Irak, menerbitkan buku tentang pengalamannya tersebut. Saat kejadian itu terjadi, semua masyarakat tersita perhatiannya, termasuk Presiden SBY -- bersama kameramennya, wartawati itu akhirnya bertemu presiden di istana. Saya masih ingat, dia lantas saya tanya, apa hikmah yang dia peroleh setelah mengalami kejadian horor tersebut. Dia mengaku banyak belajar dan meminta wartawan bersikap hati-hati dalam setiap liputannya.

Pengakuan ini penting, walaupun menurutku tetap saja masalah ketidakberuntungan selalu ada dalam kejadian apapun di dunia ini. Tapi tetap saja, tempatku bekerja termasuk yang cerewet soal keselamatan wartawan -- para jurnalisnya, misalnya, dilarang meliput daerah konflik jika belum mengikuti semacam pelatihan.

Hampir setiap tahun di tempatku bekerja, sebutlah, selalu ada semacam pelatihan bagaimana kiat meliput di daerah konflik atau bencana. Tahun lalu, pada November, bertempat di Lido, Jawa Barat, saya mengikuti kembali training seperti itu (dihadiri teman-teman dari Indonesia, Birma, dan Vietnam).

Ada macam-macam materi dan model pelatihannya. Misalnya ada teori bagaimana menyelamatkan rekan kerja yang luka -- aku misalnya ditunjuk sebagai model yang terluka lehenya (makanya aku sok berteriak "aduh, leherku patah"... heheheh).

Juga ada teori dan praktek bagaimana melewati daerah perbatasan yang dikuasi pemberontak (kita pura-pura dicegat pemberontak dan bagaimana mencari jalan keluarnya), pengenalan model dan suara senjata (kita disarankan pulang bila daerah liputannya adalah medan perang antar tank -- "nyawa lebih mahal dari berita", kata para trainernya), hingga bagaimana mencermati wilayah yang dipenuhi ranjau..

22 comments:

sensen gustavsson said...

Wah.. enak, instrukturnya pasti keluaran SAS, inggris ya..

Alana Skiera said...

hehehe.. di metro kagak ada kayak ginian! Makanya waktu ke Papua tiba2 orang kampung ngamuk--ngamuk karena salah pengertian dg tim kita, gue udah berasa mau mati aja. Hihihihi..

Lenah Susianty said...

asik ya, dikasih itu ga rompi antipeluru?

Affan Alkaff said...

Ya, Sen, sebagian instrukturnya adalah alumni SAS...

Affan Alkaff said...

Uli, ada beberapa materi yang kudapatkan, kurasa terlalu jauh untuk dipraktekkan sekarang di Indonesia -- sebutlah meliput daerah perang. Tapi ada materi lain, misalnya menghadapi milisi, atau pejabat sok kuasa, menurutku cukup relevan. Dengan sedikit improvisasi, kiat-kiatnya pernah kupraktekkan di papua (menghadapi pejabat tentara yang sok kuasa) atau di Pulau Sebatik (diinterogasi di perbatasan, karena dilarang meliput lantaran ada konflik dengan Malaysia, dan disuruh pulang segala)...

Affan Alkaff said...

Len, di kantor sudah disediakan ada helm dan rompi anti peluru... berat bok! :)

Yiyik K said...

Memang penting ya yg spt ini, walaupun utk situasi di Indo (saat ini) mungkin kerasa rada berlebihan... atau enggak? :)) Tapi lebih baik siap sekarang drpd menyesal kemudian ya...

boru martombak said...

wah enak yah bisa latihan sm instruktur asing pasti dalam ilmu nya :)

Affan Alkaff said...

Iya Yik, selalu ada pertanyaan seperti itu. Mungkin untuk wartawan bule yang biasa meliput di Irak, Gaza atau lokasi konflik lainnya, pelatihan itu sangat relevan... Itulah sebabnya ada training lain, seperti bagaimana meliput kerusuhan di dalam kota, dan daerah bencana.. Nah, kedua training inilah, yang barangkali lebih pas buat di Indonesia -- kecuali jika tiba-tiba ada perang, tentunya :) Tentu saja poin yang penting, yang kudapat dari training itu, adalah selalu waspada...

Affan Alkaff said...

Ronasi, aku belum bisa membandingkan, karena belum pernah dilatih instruktur lokal... Mungkin sama saja...

Affan Alkaff said...

..dan Ronasi, aku baru ingat, soal instruktur bule atau bukan, ini kufikir tergantung individunya.. ada instruktur bule yang justru cara penyampaiannya bikin ngantuk, sebaliknya ada pula yang enak didengar.. :)

Barangkali yang menurutku menarik, mereka bisa memadu antara teori dan praktek, secara bergantian, sehingga diharapkan tertanam dan nggak cepat menguap.. (dan ternyata aku tetap saja, ada saja yang selalu terlupa jika menyangkut detil-detil :))

boru martombak said...

*....mmmm manggut-manggut ajaH* pokok na manataB lah :D

niniel wda said...

untungnya kau kurus fan.. gotongnya gak repot.. coba kalo aku? wah... sekampung! :)

Affan Alkaff said...

iya Nil, betul..:D

Lita Koeswandi said...

Bagus nih, dikasih training kayak begini. Jadi bisa siap tempur kejar berita di berbagai medan.

Affan Alkaff said...

.. harapannya seperti itu, Lit.. :)

agung ainul said...

Makanya jangan pingsan yaaaa

Affan Alkaff said...

hehehe.. gak pa-pa Gung, pura-pura pingsan saat latihan.. Yang ngeri, kalau pingsan betulan saat liputan betulan...:)

TomInta Family said...

seperti first aid course gitu ya Mas Affan?
disini (Jerman) kita harus kursus first aid dulu untuk dapetin SIM
harus di refresh gak setiap berapa tahun gitu??

Affan Alkaff said...

ya seperti itulah, kurang-lebih.. Biasanya berlaku 3 tahun, setelah itu harus ikut kursus serupa. Tanpa semua ini, wartawan dilarang meliput daerah konflik -- dulu seperti Aceh, Papua, atau Maluku, serta Poso..

elok dyah said...

tak pikir dililit ulo

Affan Alkaff said...

wah Lok, kalau dililit ulo, aku ora ngguyuh.. hahaha