Oct 29, 2007

keliling Jawa, terdampar di Ngliyep (4)




KUTINGGALKAN Kota Malang, tiga pekan lalu, dengan rindu yang belum tuntas, serta pertanyaan yang tak sepenuhnya terjawab. Tapi pikiran logisku juga punya jawaban: tiga hari, kupikir, sudah cukup untuk sebuah pertemuan mengenang masa lalu, saling memaafkan, bercanda, dan saling sapa. "Jangan lebih dari itu.."

Dengan senyum menggantung yang terlihat di raut wajah Ibuku, yang berdiri di depan rumah (beserta keluarga besarku), siang itu mobil kami akhirnya melaju pelan -- meninggalkan masa lalu itu. Ada lambaian tangan, ciuman di pipi, tetapi juga kata-kata tak terucap, menandai perpisahan itu..

Dalam situasi melankoli seperti itu, aku selalu berupaya meyakinkan diri berulang-ulang: perpisahan adalah tidak terelakkan...

Toh akhirnya mobil kami melaju terus. Dan dibandingkan saat berangkat, rute balik kami ke Jakarta kali ini lebih jelas, yakni melalui jalur selatan. Kenapa kami pilih jalur ini? Jawaban pertama, karena tujuan kami berikutnya adalah kota Blitar -- kami berencana plesir ke makam Bung Karno di kota itu. Alasan lainnya, kami ingin merasakan jalur yang tidak seramai jalur pantura...

Kami awalnya berhitung, jarak Malang-Blitar yang sekitar 77 kilometer, bisa ditempuh dalam 1 jam. Dengan begitu, kami bisa langsung ke tujuan, kuburan Bung Karno. Tapi, rencana ini menjadi berantakan, ketika di jalanan kota kecil Kepanjen (kira-kira 18 km dari Malang), aku berkata secara spontan kepada istriku, "nah, itu jalan menuju Pantai Ngliyep, ombaknya besar di sana .. aku pernah ke sana..." Istriku belum menjawab, tapi sekonyong-konyong Aida (anakku) memotongnya, "Aida pengin ke Ngliyep, Aida pengin main pasir..."

Pantai Ngliyep, yang ombaknya dikenal ganas (di pinggir Samudera Indonesia), dan selalu dilekati mitos Nyai Roro Ngidul, letaknya masih di wilayah Kabupaten Malang -- kira-kira 62 kilometer dari pusat kota Malang. Dulu, sebelum muncul plesiran Pantai Balekambang, dan Sendang Biru (yang letaknya di garis pantai yang sama di kabupaten Malang), Ngliyep dikenal dan acap didatangi turis.

"Saya sudah lama nggak ke sana, tapi kayaknya pantainya juga bagus.. dan nggak begitu jauh kok" kataku, seolah meyakinkan diri sendiri, menjawab ketidaktahuan istriku. Mobil kami pun mengikuti setiap petunjuk jalan, juga mengikuti angkutan umum di depan kami, melalui jalan-jalan yang semula lebar, menjadi menyempit, yang semula ramai, kian sepi, dan makin sepi...

Nada khawatir mulai merambatiku, dan istriku mulai tak bisa menutupi keraguannya -- anakku barangkali lebih membayangkan pasir pantai yang putih.
Apalagi, pada jalan-jalan yang kita lalui, di kanan-kirinya mulai terlihat pohon jati kering, dan batu cadas, serta jurang -- jarang terlihat rumah penduduk dan tidak berlampu. "Mana pantainya, kok belum kelihatan juga," begitulah pertanyaan pada diri kami.

Kubayangkan semula jarak antara Kepanjen-Ngliyep bisa ditempuh kurang dari 1 jam, tetapi faktanya waktu tempuhnya lebih dari 2 jam! "Kok nggak sampai-sampai say," celetuk Ika, masih dengan nada datar..

Puncak kecurigaan kami adalah saat mobil kami dibelokkan oleh sejumlah pemuda. Kubuka jendela sedikit-sedikit, dan kutanya, "Kenapa harus belok?" Mereka menjawab, silakan lewat jalan alternatif -- sebuah jalan tanah yang tidak rata, dihiasi kebun tebu yang rindang. Kami membayangkan, apa jadinya jika kita melewati jalan seperti itu di waktu malam... (belakangan setelah kami kembali ke jalan beraspal, kami diberitahu jika ada jembatan yang rusak..)

Kalau di lihat di peta, rute menuju Ngliyep itu akan melewati wilayah Kecamatan Donomulyo -- tapi wilayah itu seolah lama sekali terjangkau. Setelah menunggu dengan tak sabar, akhirnya kami menemukan petunjuk jalan di sebuah pertigaan, ke kanan ke arah kota kecamatan Donomulyo, sementara ke kiri adalah Ngliyep. "Akhirnya..." kataku dalam hati.

Memang jalanan tidak melulu bukit cadas pada ketinggian, dengan hutan jati yang meranggas, tapi juga rumah penduduk yang tak begitu ramai. Pemandangan yang kusebut belakangan ini membuat kami lega, karena kami akhirnya "tidak sendirian" (anakku mulai paham, jika melewati jalan sepi, dia akan selalu bertanya, apakah kita melewati hutan yang sepi, dan berbinatang buas.. kami biasanya membujuknya..)

Dan tatkala mulai terlihat nyiur pohon kelapa, dan secuil laut biru dari kejauhan, perasaan kami menjadi lega. Kami akhirnya sampai di Pantai Ngliyep -- kami terdampar di sebuah tempat, jauh di luar jalur resmi arus balik.... (seingatku jam di pergelangan tanganku sudah menunjuk angka 2 lebih 30 menit sore. Itu artinya kita mesti bergegas, sebelum matahari terbenam. "Jangan sampai kita semalaman di jalan seperti ini," kata istriku, tegas).

Sisa-sisa rasa was-was itu, akhirnya luruh pelan-pelan, saat kaki kami menyentuh hamparan pasir putih nan luas -- dihiasi pepohonan yang rimbun, dan tinggi. Tidak banyak wisatawan saat itu, mungkin lantaran hari sudah beranjak sore. Hanya tersisa anak-anak muda dan pasangannya...

Pantai Ngliyep, dari sekilas memandang, adalah perpaduan tebing curam (yang konon terdapat hutan lindung) dan hamparan pasir putih. Disela-selanya ada deburan ombak yang -- setiap saat -- menerpa tebing-tebing dan pasir putih itu. Hanya ada 2 atau 3 orang yang berenang, karena memang dilarang, mengingat tinggi ombaknya...

Sore itu, seraya menyantap 2 buah mangga, kami puaskan memandang ombak yang deburannya terlihat seperti mengembun, pada jarak kejauhan. Anakku sebaliknya asyik dengan mainan barunya: keong dan batu apung yang putih warnanya....

Tepat pukul 4 sore, kami meninggalkan pantai pasir putih itu -- kami dituntut berlomba dengan waktu, agaknya. Rute kami selanjutnya adalah pertigaan Donomulyo itu tadi, sebelum merambat ke jalan kecil, melewati jalanan desa (diantaranya Lodoyo), menuju tujuan kami berikutnya, Kota Blitar. Senja jingga yang indah itu akhirnya menemani perjalanan kami (bersambung).

7 comments:

haris fauzi said...

saya belum sempat ke pantai nih...
pantai manapun...
soalnya masih kuatir arwah penunggunya bakal marah..:)

niniel wda said...

sedikit lagi menunggu.. ini pasti tambah keren

niniel wda said...

blur.. sepertinya selanjutnya edisi hotel tugu nih.. hehe

ika ardina said...

Iya.. Seandainya ada penginapan yang memadai disana..

Affan Alkaff said...

Omong-omong soal arwah penunggu, saya jadi ingat, kemarin saya pakai baju hijau.. dan teringat dulu ada mitos "jangan pakai baju hijau di pantai Ngliyep, bisa membuat Nyi Loro Kidul marah.." Saya sih nggak berani nyemplung ke lautnya, bukan karena soal baju hijau itu, tapi memang nggak bisa berenang, Ris...:)

Affan Alkaff said...

penginnya nunggu sunset, tapi ngeri pulang di saat gelap.. ya udah cuma bisa motret di saat sore.. lumayan juga kan :)

Affan Alkaff said...

hehehe.. yang edisi hotel tugu kan udah, Nil, tapi ada edisi lain kok... :)