Oct 28, 2007

Keliling Jawa, menyapa Tegal, Ambarawa...




DITINGKAHI bunyi takbir di senja itu, mobil kami akhirnya melanjutkan perjalanan menuju Brebes. Rindu akan suasana lebaran mulai tak bisa dibendung, tapi kutahan sebisanya.

Kusibukkan diriku dengan panorama di luar mobil, dengan harapan terlupa sudah tarikan-tarikan itu. Yang kujumpai justru bau laut Jawa yang masih terasa, tatkala akhirnya kami memasuki sebuah kota yang kukenal akrab, tapi asing, yaitu Tegal.

Di kota pesisir ini, malam masih terjaga. Kelap-kelip lampu, seperti halnya kota-kota di Jawa lainnya, juga berpendar di seantero kota -- seolah menyambut malam penghabisan ramadhan. Tapi pikiranku dalam kenyataannya lebih larut dalam perjalanan kelana ini: disibukkan telpon sana-sini menanyakan mana hotel yang kamarnya masih kosong -- dengan harga yang pantas, tentu saja..

Sejujurnya, ini kali pertama aku menjejakkan kaki di kota Tegal -- dulu barangkali hanya transit entah dengan bus atau kereta api. Kusebut kota ini akrab sekaligus asing, karena namanya sudah begitu akrab di telinga. Ingat kan warung tegal (warteg) yang gampang di jumpai di jalanan Jakarta? Nah, kusebut asing, karena apa yang kubayangkan dari kota ini sebelumnya, ternyata jauh dari kenyataan... kemajuan, modernitas sudah terasa denyutnya saat kami melintas di jalan-jalannya..

Gagal mendapatkan kamar kosong pada sejumlah hotel yang bangunannya membosankan (serba kotak, "mengerikan,"kata istriku) , akhirnya kami terdampar pada sebuah jalan lapang -- masih di tengah kota. Di Jalan Sudirman, nama jalan itu, kami akhirnya menemukan bangunan hotel, sepertinya dibangun tahun 70-an (ternyata benar setelah saya menemukan papan penanda hotel itu..)..

Terasa lega, karena di hotel itu masih tersedia kamar -- Hotel Gren, namanya. Adalah anakku, Aida, yang paling berbinar malam itu -- "Ada bath-up-nya nggak di dalam kamarnya," begitu pertanyaannya bertubi-tubi. Dengan kakinya yang lincah, dia terus membuntutiku mengecek kualitas kamar. "Pilih yang ada bath-upnya, Lid.." (setelah dipastikan kamarnya, dan mandi segala, makan, Aida kembali menggeluti hobinya, menggambar...)

Sisanya, malam itu, kami larut dalam istirahat total, dihantar takbir yang makin samar terdengar..

Semilir angin menebar pada Sabtu pagi, 13 Oktober. Kulihat istri dan anakku masih terlelap, aku menyelinap ke luar kamar -- suasana pagi adalah hari-hari teristimewa dalam hidupku. Hilir-mudik aku di jalan itu dengan harapan menemukan sesuatu yang baru -- yang kujumpai adalah ujung jalan itu dan sebuah rumah tua.

Di depan hotel, kusaksikan orang-orang berombongan, atau sendiri-sendiri, bersepeda, dengan bau wangi dan pakaian terbaiknya, menuju mesjid atau tanah lapang. Ya, Tuhan, ini hari raya! Kutahan rasa rindu itu sekali lagi, dan aku kembali ke kamar, dengan perasaan agak masygul...

Matahari mulai meninggi perlahan, saat akhirnya kami memulai perjalanan kembali. Walau tak ada target tiba pukul berapa, saya dan istri memutuskan mengarah ke Semarang -- melalui Pemalang, Pekalongan, Batang, Weleri, serta masuk tol ke Ungaran (jadi tak masuk Kota Semarang). "Nggak berani ah lewat Slawi-Purwokerto, bukankah kita mau ke Ambarawa, ke museum kereta api itu," jawaban istriku itu kuanggap masuk akal.

Menikmati suasana lebaran, di mana orang-orang memakai baju baru (warna terang), menziarahi kuburan moyangnya (bersarung dan berkerudung), itulah pemandangan jamak dari Tegal ke Weleri, sepanjang sekitar 65 kilometer -- sebuah aktivitas yang dulu kulakukan di masa kanak-kanak..

Di wilayah Pekalongan (kami tak masuk ke kotanya), kami diasyikkan dengan sisa-sisa bangunan ruko dengan arsitektur masa lalu. Saya jadi teringat, kota ini dari dulu sudah dikenal sebagai kota dengan industri kelas menengah -- "selamat datang di kota batik Pekalongan," sebuah baliho menyambut kedatangan kami.

Anakku Aida relatif tidak rewel, karena dia bisa tidur dalam perjalanan itu. Agar kakinya tidak menggantungkan, kami letakkan tas berisi pakaian dll di bawah kakinya. Dia juga bisa selonjor, atau menekuk kakinya ke atas..

Tatkala matahari mulai persis di ubun-ubun, mobil kami sudah memasuki jalan tol sesudah Kaliwungu, dekat kota Semarang. Sebuah bukit cadas warna kecoklatan yang curam, mengantar kami menuju kawasan agak tinggi, Ungaran. Kami lantas berlabuh pada sebuah restoran yang disesaki pendatang -- kami mesti menunggu hampir sejam karena padatnya pemesan..

Seperti direncanakan, kami di pertigaan Bawen, memilih belok ke kiri, menuju Ambarawa. Tujuan kami jelas yaitu museum kereta api -- sebuah keinginan yang selalu kami impikan. Sayangnya, kereta api kuno yang bisa disewa secara rombongan, hari itu tak tampak. Tapi kami tak ingin tanya lebih lanjut, dan kami lebih menikmati sejumlah kereta uap di museum itu...

Dengan sisa waktu yang ada, setelah istirahat di museum itu, kami mengejar senja di pelataran Candi Borobudur, di wilayah Magelang. Dalam perjalanan ini terasa sekali kalau Aida begitu bersemangat -- sebelumnya dia belum pernah bangunan candi. Dan ketika stupa candi raksasa itu terlihat, senyumnya mengembang lebar. Minus ibunya, kami berdua lantas beradu cepat naik ke puncak candi...

Dari atas candi, saya tidak tahu apa yang difikirkan Aida -- tapi dia lari sana, lari sini, tertawa, dan sempat membuat aku khawatir. Terlihat dia bahagia sekali. Kuabadikan beberapa momen saat kita di atas candi -- terakhir saya ke sini tahun 1988 (jaman mahasiswa baru, dengan rombongan senat mahasiswa).

Pada saat bersamaan, seraya memandang Jawa dari kejauhan, saya berfikir perjalanan masih jauh, masih separoh lagi...

Menjelang pukul 5 sore lebih 15 menit, kami beranjak untuk turun ke Sleman, menuju pusat peninggalan kebudayaan dan kekuasaan Mataram. Sebelum meninggalkan Borobudur, kami belikan Aida gasing dan gantungan kunci berupa miniatur candi borobudur, untuk kenang-kenangan...

Malam harinya, di rumah adik mertuaku di kawasan gedong kuning, Sleman, Aida memainkan gasing itu. Dia kembali menjadi pusat perhatian keluarga besar kami.. Dua jam kemudian, kami istirahat di Hotel Gedong Kuning, kira-kira 10 menit dari tempat Aida main gasing itu tadi.. Besok, pada dua pekan lalu itu, kami mesti melanjutkan perjalanan yang tinggal separoh... (bersambung)


16 comments:

haris fauzi said...

mas Affan,
kakak saya diperjalanan saat tanggal 12. Kami menganut lebaran 12. Kakak saya memutuskan untuk meneruskan perjalanan tanpa puasa dan akan sholat tgl 13 ntar di Malang.

Resto memang pilihan krusial. Resto atau mesjid ?
Di resto kita bisa makan trus sekalian sholat. Kalo saya memilih istirahat di mesjid. Di mesjid kita bisa sholat, sekalian makan. Makanannya mbontot (bekal), ..... jadi kapan kita lapar, disitulah kita mengisi perut....bisa di pinggir jalan, di mesjid, pom bensin, atau manapun... irit lagee..:)

haris fauzi said...

itu backgroundnya keren..... dulu stasiun KA kali ya ?
palagi ada APV plat F....tetangga ayas kali ya ?.....:)

Lita Koeswandi said...

Jadi pengen jalan-jalan lintas jawa...Eh lintas sumatra juga pengen, kenapa enggak.
Gak macet Fan??

Affan Alkaff said...

Haris, pilihannya ada dua saat itu, merayakan lebaran di Malang atau 'berlebaran' di jalan. Kami memilih yang kedua, dengan berbagai alasan teknis -- ya, teknis, bukan ideologis.. :)

Pilihan resto, pom besin, atau masjid, juga semuanya berpulang kepada persoalan teknis semata. Tapi yang kami perhatikan, tentu, kebersihan makanan dan toiletnya. Dan di dalam perjalanan itu, saya bersyukur, tak begitu sulit amat untuk menemukan sebuah tempat yang ada resto, mushola, serta toilet...

Inginnya kami mbontot juga, Haris, tetapi itulah.. semuanya berpulang soal teknis. Tapi di mobil juga kami sediakan makanan kecil, roti, buah dll..

Affan Alkaff said...

Setahu saya, ya itu dulunya stasiun. Namanya Stasiun Willem 1, di kota Ambarawa. Entah sejak kapan disulap jadi musium.. Lumayan juga buat istirahat, buat sekedar mengenang masa lalu...:)

Soal mobil APV itu.. hehehehe.. kau agaknya sudah punya konsep pulang ke Bogor ya, ketimbang Malang... Kalau ayas di setiap perjalanan, selalu nggumun kalau ada plat mobil N... Arema, jes! :D

Affan Alkaff said...

"Jawa adalah kontji," kata Aidit, eks pemimpin PKI... loh apa hubungannya?:D

Tapi Lit, memang asyik jalan-jalan kemarin (si Ika pasti ketawa senang mendengar ini...), namun mungkin jangan ada target waktu harus sampai kapan.. santai begitu...:)

Macetnya saat keluar Cikampek (tapi nggak parah-parah amat, mobil bisa jalan).. Yang agak parah di dekat pintu keluar tol Kanci, Cirebon... kita habis waktu 2 jam berjalan pelan di dalamnya. Sisanya, luar biasa lancarnya.. Saat pulang juga demikian, termasuk di Nagrek.. mulus :)

Lintas Sumatera? pengin sih, tapi entah Ika ya hehehe..

krisna diantha said...

aku belum pernah ke borobudur loh :-)

haris fauzi said...

critanya kayaknya makin seru...bukan saru lho yo...:)
bikin kepingin jalan - jalan lintas jawa ..... karena djawa adalah kontji..kontji enggres buat mbukak pipo ledeng...:)
kalo kayak gini, bukan nggak mustahal akhir tahun nanti bakal melantjong java-trip.. dengan resiko mantab..(mangan tabungan).....wakakakakakakakakakkk

Lenah Susianty said...

masih dipakai ga sih? atau cuma dipajang ajah?

Affan Alkaff said...

Ya, Haris.. masalahnya selalu di ongkos.... penginnya sih jalan-jalan terus... Tapi kufikir di Jawa banyak tempat yang bisa dikunjungi, dijelajahi.. Penginnya sih dalam waktu dekat ini ke Banten... :)

Affan Alkaff said...

Len, setahuku sebagian besar, udah nggak bisa bergerak.. cuma dipajang ( di lapangan terbuka), dan sebagian kulihat kurang terawat... :(

Tapi di luar itu, pengelolanya menyediakan perjalanan wisata, dengan kereta uap dan gerbong tua. Berangkat dari stasiun itu menuju sebuah stasiun lainnya, dan balik lagi... Sudah banyak liputan tentang kereta wisata itu, dan katanya banyak peminatnya. Biasanya rombongan...

Affan Alkaff said...

ajak istri dan Hannah ke sana, kris... sempatkan :)

sensen gustavsson said...

Asyik keliatannya, Fan. Untung si Aida bukan anak yang suka ngambekan ya.. Kadang, ada anak yang cepet bosan duduk di mobil kelamaan..

Affan Alkaff said...

Sen, agar tak bosan, kita usahakan sering berhenti -- biasanya di saat cari toilet yang bersih, atau resto. Di sana, kita turun dari mobil.. Yang lainnya, ya kita bawa sebanyak mungkin penganan, cemilan kesukaan dia, serta kaset.. Memang sedikit rewel kalau dia minta secara berlebih permen atau makanan ber-MSG, sementara kita menolaknya.. jadilah debat kecil-kecilan, dan rengekan... :)

Hiraga Keaton said...

Cak Affan, coba sekali-kali lewat jalur tengah, dari Pekalongan ke kanan naik ke Dieng, tembus ke Wonosobo, lalu lewat Parakan, Temanggung masuk Magelang....wah mengasyikkan lho...meski lebih lama. ...Atau kalau pas ke Solo masuk Jatim lewat jalur Tawangmangu...mampir sebentar ke Candi Cetho...wah itu negeri di atas awan....

Affan Alkaff said...

Kawan Teguh, idemu boleh juga, apalagi kau sebut-sebut "negeri di atas awan"... Akan kami coba bila liburan nanti, atau saat mudik lebaran, bila kami jadi ke Jawa Tengah... Terimakasih!