Oct 28, 2007

keliling Jawa, mesjid kremlin, manusia trinil..(3)




BERANGSUR-ANGSUR suasana mistis lebaran itu memudar, seiring berjalannya waktu. Pada pagi itu, di sudut Kota Yogya, yang terlihat senyap ditinggalkan penduduknya, tak lagi terdengar takbir -- digantikan raungan motor dan bus yang jarang. Minggu pagi itu adalah hari raya kedua, menurut orang NU...

Saya lalu bertanya, ada apa di balik perasaan sendu saat mendengar takbir? Bukankah itu lebih mewakili perasaan estetis ketimbang religi, demikian tanya Karen Armstrong, saat dia masih tinggal di Biara. Saya biarkan pertanyaan itu berlalu. Pagi itu aku justru melangkah ke luar kamar Hotel Gedong Kuning, untuk menikmati pagi, seraya mencari warung kopi (hotel itu tak menyediakan sarapan)

Kesibukan menjelang perjalanan berikutnya, seperti membangunkan anakku (dari tidurnya), memandikannya, dan membantunya memakai baju, justru menyita pikiranku. Selalu begitu: dari detik ke detik, menit ke menit.. sebuah momen peristiwa keseharian. Menurutku, inilah hidup sesungguhnya, di luar pikiran-pikiran besar yang hampir tak terjangkau..

Ditawari sarapan di rumah adik mertuaku, kami tak bisa menolak. Inilah pertemuan akhir, sebelum kami berpisah dengan keluarga besar istriku itu -- kami lanjutkan berkelana ke arah timur, sementara mereka menetap sebelum akhirnya balik ke Jakarta..

"Kalau mau ke Malang, mending jangan lewat Kertosono. Masuk saja ke Kediri, lalu lewat Pujon...,"mertua lelakiku memberi saran. Saya agak lupa apa alasannya, tetapi memang jaraknya lebih pendek. Kecuali kalau mau lewat Surabaya, maka melalui Kertosono adalah pilihan terbaik -- tapi kami sejak awal menjauhi kota Surabaya setelah ada masalah lumpur di Sidoarjo. "Kami memang akan lewat Pujon, meski resikonya ada tanah longsor..Tapi untungnya nggak hujan," jawabku dengan lagak sok tahu..

Kami akhirnya beranjak meninggalkan Yogya sekitar pukul 10 pagi, tapi terik matahari sudah mulai terasa. Tujuan kami selanjutnya adalah Candi Prambanan, yang lokasinya tidak begitu jauh. Diwarnai keragu-raguan, karena soal waktu dan hawa panas itu tadi, kami akhirnya toh memparkir mobil di pelataran candi itu -- saya dan Aida belum pernah mendatanginya...

Seperti diduga, sengatan panas itu membuat kedatangan kami kurang nyaman -- walau kami sudah memakai topi pet. Kami akhirnya memutuskan tak berlama-lama. Kurang dari 1 jam, kami lantas cuma keliling sebagian candi -- yang sebagian dikonstuksi ulang lantaran rusak karena gempa. Ambil gambar untuk kenang-kenangan, dan balik ke mobil -- Aida kubelikan satu miniatur candi itu.. (di sini Aida sempat merengek karena kami menolak kemauannya mengkonsumsi ice cream atau permen...)

Sebelum ke Prambanan, kami mampir ke restoran ayam goreng 'Mbok Berek pertama Ibu Noor', di wilayah Candisari -- ini jelas ide istriku yang paling doyan ayam goreng lengkap dengan bumbu keringnya itu... Letaknya di sebelah kiri jalan dari arah Sleman, dengan papan baliho yang besar -- sangat mencolok mata.

Kami beli satu kotak ayam goreng lengkap ditambah 4 nasi putih, buat di makan di perjalanan (kelak saat kami mengkonsumsinya, Aida begitu lahap menyantapnya, dan "kok ayamnya dikit, Lid..")

Namun bukan semata ayam goreng kami berhenti di tempat wisata kuliner tersebut. Mata kami tertumbuk pada sebuah bangunan yang mirip Istana Kremlin di lapangan Merah, Moskwa. Bangunan itu ternyata sebuah mesjid, yang menaranya dibuat mirip dengan menara istana di negeri Rusia itu -- warna-warnanya terang dan kontras. Aku lupa apa komentar anakku saat itu, tapi dia minta diantar masuk mesjid itu. "Ini dia mesjid Kremlin..," celetuk istriku, seraya tertawa.

Melalui kota Solo, Sragen, pada siang itu, akhirnya kami sampai juga pada perbatasan propinsi Jateng dan Jatim (ada tiga kota kecil Gondang, Mantingan, dan Widodaren di tapal batas itu..) Saya dan istriku riang setiap melintas perbatasan, seolah jarak tempuh itu semakin dekat -- kami biasanya menghitung berapa kilometer lagi yang harus kami tempuh. "Jangan lupa memotret tugu perbatasan, atau selamat datangnya," itu pesan yang dia wanti-wanti, selalu..

Diwarnai hutan jati yang meranggas, dan langit biru berawan tipis di atas pedalaman Jawa, kami memasuki wilayah purba: Kota Ngawi. Kusebut purba, karena di sebagian wilayah kota itu, tepatnya di lembah-lembah Sungai Bengawan Solo, dulunya adalah tempat hunian kehidupan purba -- tepatnya zaman Plistosen Tengah, sekitar satu juta tahun lalu.

Seperti tercatat dalam sejarah, situs purba itu, yang belakangan disebut Trinil, terletak di Desa Kawu, Kecamatan Kedunggalar, Kabupaten Ngawi -- kira-kira 13 km sebelum kota Ngawi dari arah kota Solo. Koleksi-koleksi tersebut di antaranya fosil tengkorak Pithecantrophus erectus (manusia mirip kera yang berdiri tegak) , fosil tulang rahang bawah macan purba (Felis tigris), fosil gading dan gigi geraham atas gajah purba (Stegodon trigonocephalus), dan fosil tanduk banteng purba (Bibos palaeosondaicus)...

Tapi kami hanya melintasi kawasan itu, walaupun kami berpapasan baliho penunjuk jalan -- dengan gambar manusia purba itu tadi. Sempat bertanya-tanya, apakah mendatanginya atau tidak, kami toh akhirnya memilih jalan terus...

Masih di wilayah Ngawi, kami bertemu pertigaan lagi, silakan pilih langsung ke arah kota Madiun atau Caruban, sebuah wilayah lain yang dikenal dengan hutan jatinya. Kami sejak awal memilih kota yang disebut terakhir, karena jaraknya lebih dekat ke kota Nganjuk -- sebelum tujuan berikutnya Kediri..

Melintas di kawasan hutan jati Caruban, yang tak bergunung dan melulu landai, kami sempat berniat menikmati es kelapa muda, tapi batal karena satu faktor: kami mengomel sendiri, tapi tak bisa apa-apa, melihat orang-orang yang menjual kera kecil di dalam keranjang. "Jahat sekali mereka.." umpat Ika.

Diwarnai angin kencang, kami masuk wilayah kota Nganjuk -- 63 kilometer dari kota Ngawi. Terlihat dari kaca mobil, angin ribut itu sungguh terlihat, di mana dedaunan pepohonan bergoyang kencang. "Memang kalau sudah masuk Oktober, Nganjuk dilanda angin kayak gini," jelas petugas pom bensin, di sebuah daerah di perbatasan dengan Kediri. Menuju Kediri (jaraknya 25 kilometer dari Nganjuk), kami melalui jalan alternatif, yang memang tidak selebar jalan protokol seperti sebelumnya.

Di Kota Kediri, sempat bertanya-tanya, apa kabar Gunung Kelud, yang belakangan batuk-batuk terus? Di jalanan kota itu, kami menemui spanduk yang bertuliskan posko pengungsi -- sebagian wilayah kota itu memang berdekatan dengan gunung itu.

Dan di tengah gelapnya malam, kami terus melaju ke arah kota kecil Pare, sejauh 21 kilometer. Inilah perjalanan yang terus menanjak, ke arah dataran tinggi, melewati lereng Gunung Anjasmara, Arjuno, menuju kota kecil lainnya Kandangan. "Hati-hati say," itu kukatakan berulang-ulang pada istriku.

Apa pasal? Sejak masuk wilayah Kandangan, jalannya berkelak-kelok dengan tikungan serba tajam, di sisi kanan atau kiri adalah curam dan tebing. Sementara gelap terus mengintai, dengan jarak pandang terbatas. "Ini hutan ya Lid.. Aida nggak suka kalau jalannya sepi.." rengeknya pelan, seraya menutupi mukanya dengan selimut -- hawa dingin mulai terasa. Tapi istriku memutuskan jalan terus, dari Kandangan ke Pujon sejauh 46 kilometer..

Aku mulai hafal jalanan itu, ketika mobil kami sudah memasuki Pujon. Ada perasaan lega, karena "Kota Malang, tujuan kita itu, sudah makin dekat.." kataku meyakinkan istri dana anakku -- ganti anakku bertanya terus, "jadi mana rumahnya Jida (sebutannya untuk menyebut neneknya). Kami lantas mampir di sebuah warung kecil seraya menyeruput susu segar Pujon, teh hangat dan mie rebus... Malang tinggal 26 kilometer lagi, benakku girang (bersambung)

12 comments:

haris fauzi said...

PUJON MEMANG EKSAITING:
...mudik tahun lalu saya lewat jalur selatan, bulan desember 2006...pas longsor karena musim hujan...desember hujan gila di malang...:)
berkelak-keloknya itu bikin adrenalin naik..ditingkahi musik rock... AC gak usah nyala..jendela buka dikit...mobil bisa bermanouver agak galak...ujinyali dan keahlian nyopir...:)

...sempat berhenti di view point pujon.....kira2 km.26..((mas affan gak mampir ???RUGI DUNIA AKHERAT WAKAKAKAKAKAKAKK))
..... lantas jalan kaki (mobil gak nembus) masuk ke kampung atas...buat cari mesjid rakyat....trus habis solat minta permisi ke penduduk..hendak masuk ke kandang sapi ....lihat sapi beneran... bau sapi beneran.....trus beli susu sapi fresh from puting...((saya sempat foto2 disitu...))

Lenah Susianty said...

mesjid kremlin? ya ampun! pengen ke sana jadinya! di mana tepatnya? ini beneran mesjid atau rumah makan?

Affan Alkaff said...

sayangnya, Haris, kami melalui Pujon itu malam hari... Awalnya, kami ingin lewat daerah yang berpanorama indah itu, pagi atau setidaknya siang... (saya ingat ada sudut di daerah Kandangan, sebelum Selorejo, ada sudut yang indah sekali!... ada sungai jernih, dengan batu-batuan serta jembatan kayu....rencananya saya ajak anak dan istriku ke sudut itu)

Tapi apa di kata, rencana itu berantakan.. Dan Haris tahu kan, kalau malam, yang bisa dinikmati akhirnya makan-makan di payung.. :)

Hehehe.. bagi warga kota malang, belokan di Pujon itu memang jadi uji nyali. Ris, saya ingat, teman saya dengan bermotor tanpa ngerem, melaju di jalanan itu... (dia tiap hari hilir-mudik di jalan itu, dengan kulakan sayur untuk dijual ke supermarket di Malang)

Di mana ya km 26 itu, Ris? Wah, jadi penasaran nih... ke atas lagi setelah Coban Rondo? Beritahu kawan...

Affan Alkaff said...

hehehe.. Len, nama mesjid kremlin itu sebutan kita saja. Naman aslinya saya nggak pernah tahu... (mirip istana kremlin di Moskwa kan? :))
Lokasinya di kampung Candiasri, di jalan menuju Solo, tapi setahuku masih di kawasan Yogyakarta.. Itu memang mesjid. Nah, di sebelahnya itu baru rumah makan mbok berek...

suluhpratita ... said...

wah..ini akibat kemarau panjang ya?
kering kerontang...daun2 meranggas...

haris fauzi said...

sebelum selorejo...dari kediri berarti ada di kanan jalan...namanya view point..dari situ bisa liat selorejo dari atas... saya disono pas jam 2 siang..jadinya amboi beneerr.....!!! ((http://harissolid.multiply.com/photos/album/12/mudik_mampir_-_desember_2006)).
yang keren lagi saya sempat masuk desa di atasnya, liat dan bau sapi beneran...:)
soalnya kan memang jam ashar adalah saat yang tepat buat memerah susu.....dan saya gak mau lewatin begitu saja....akhirnya kami agak hiking ke pelosok desanya....
bisa saya rasakan bener - bener pola hidup desa yang tenteram....
mungkin 1-2 tahun lagi view point itu bisa saja jadi jorok tak terawat (pas saya kesana masih agak baru kayaknya)...tapi kampung pemerahan susu mungkin masih lestari..

Affan Alkaff said...

Ta, pemandangan hutan jati, dalam perjalanan pulang itu, acap terlihat setelah kami melalui perbatasan Jateng ke Jatim, utamanya memasuki Caruban, dekat Madiun... Saya membayangkan kalau turun dari mobil, tentu terik sinar mataharinya.. Itulah sebabnya, aku memilih memotretnya dari dalam kendaraan kami, jadi lumayan adem lah...:)

Affan Alkaff said...

Semoga kebersihan itu tetap terjaga, sehingga saat kami ke sana nantinya, pemandangan yang dirasakan Haris saat itu, bisa kami nikmati pula.. :) Makasih kawan

haris fauzi said...

kalo ada keajaiban, kita bisa janjian dan menikmati view point bersama - sama...:)

Affan Alkaff said...

semoga :)

noer syam said...

keren euy...creativ.salam kenal mas.

Affan Alkaff said...

terima kasih, dan salam kenal...