Aug 23, 2007

40 Tahun Oom Pasikom: Karikatur Tepo Seliro…


GM Sudarta, seorang karikaturis yang dianggap paling berpengaruh di Indonesia, sejak bulan Juli lalu sampai Januari tahun depan, memamerkan karya-karya karikaturnya --yang dibuatnya sejak tahun1967 sampai sekarang. Inilah pameran karya lelaki kelahiran tahun 1945 yang disebut paling lengkap dan terbesar, sejak pencipta toko kartun Oom Pasikom pada rubrik karikatur Surat Kabar Kompas ini menekuni profesi tersebut.

PENAMPILAN Gerardus Mayela, atau GM Sudarta, 62 tahun, tetap tidak berubah: selalu berpakaian serba hitam dan gampang mengumbar senyum. Kegemarannya bermain piano juga dia perlihatkan, di sela-sela pembukaan pameran karikaturnya di Bentara Budaya, Jakarta, pada awal Juli lalu. Di ruangan itu, lebih dari 100 karya-karyanya, yang sebagian besar menampilkan tokoh kartun rekaannya, yaitu Oom Pasikom, dipamerkan.

"Waktu itu tahun '67, saya ingin punya mascot, karena saat itu koran-koran lain pakai mascot, dan saya ingin wajah seorang yang di atas angin dan tidak pihak kemana-mana," katanya.

Saat itu, Sudarta membayangkan, toko rekaannya itu lahir tahun 1930-an, sehingga tidak masuk Angkatan '45 atau '66 - saat itu memang tengah ada dualisme masalah latar belakang 'angkatan'. Dan dia tidak terjebak dalam situasi pengkotakan seperti itu. "Sehingga saya bikin orang yang khas internasional. Dia senang pakai jas meski tambalan, serta dia senang pakai topi golf karena suka main golf, dan dia suka berbahasa Belanda," jelasnya.

Dari pencarian itulah, kemudian lahirnya seorang toko karikatur yang diberi nama Pasikom. "Nama itu muncul setelah saya baca sebanyak 3 kali… si Kompas, si Kompas, si Kompas, nah muncullah nama itu. Lalu saya panggil oom sebagai paman, karena orangnya sudah setengah tua," kata GM serius. "Itu awalnya muncul toko Om Pasikom…"

Melalui tokoh kartun Oom Pasikom itulah, yang dimuat di Surat Kabar Kompas sejak 40 tahun silam, Sudarta melontarkan kritik terhadap segala carut-marut persoalan di Indonesia. Tetapi yang barangkali membedakan dengan karya karikaturis lainnya, Sudarta tidak lupa menyisipkan humor.

"Dia bisa mengkritik melalui gambar tapi lucu, mungkin yang dikritik tak marah. Jadinya kayak-nya mengena tapi tidak menyakiti," ujar seorang ibu, pengunjung pameran GM. Yang lainnya berkomentar,

"Kritiknya lucu, jadi saya senang. Gambarnya juga dikenal, saya tahu ini karya GM, meski nggak ada tandatangannya."

Humor itu nyawa

BAGI lelaki kelahiran Klaten, Jawa Tengah ini, humor dalam karikatur adalah ibarat nyawa. Menurutnya, dengan gambar lucu serta humor, karikatur dapat memancing orang untuk tertarik, kemudian melihatnya. "Termasuk pejabat yang saya kritik, sehingga ada kemajuan, ada perbaikan," kata peraih peraih Best Cartoon of Nippon tahun 2000 ini. "Jadi tugas karikatur tidak untuk mengubah pendapat, mendobrak atau revolusi."

Karena itulah, GM yang pernah mengenyam pendidikan di ASRI Yogyakarta ini, karikatur hanyalah menyampaikan misi perbaikan saja. Masalah apakah itu berhasil atau tidak, "itu bukan tanggungjawab saya," tegasnya seraya menambahkan karikatur juga mengemban tugas sebagai penghibur.

Dan yang lebih penting lagi, menurutnya, karikatur adalah katup pembuka untuk tekanan sosial masyarakat. "Buat masyarakat yang kecewa dengan, keadaan sekarang, seperti keadaan Lapindo, korban tsunami yang kasusnya masih terlunta-lunta, bisa terhibur dengan adanya karikatur," kata GM.

Sudarta memang dikenal sebagai karikaturis yang hati-hati, dan jauh dari sarkastik. Di masa Orde Baru, di mana pers dikontrol sepenuhnya, menurut Sudarta, sikap seperti itu dibutuhkan.

Tapi walaupun situasi politik sekarang jauh lebih bebas dibandingkan masa Orde Baru, karakteristik karya pria kelahiran Klaten, Jawa Tengah ini, ternyata tidak banyak berubah. "Kartun pun ada etikanya," tegasnya.

Dia lantas menunjukkan sikap karikaturis sebuah media harian di. "Saya lihat teman-teman di harian Rakyat Merdeka. Kalau orang dikatakan kayak gareng, petruk, badut, Charlie Chaplin, pasti nggak marah. Tapi kalau kamu dikatakan kayak anjing, pasti marah," katanya serius.

GM kemudian memberi contoh karikatur yang lahir saat terjadi sengketa Indonesia dan Australia tentang masalah Papua. "Menlu Downer dibikin kayak anjing bersenggama, tentu itu akan menimbulkan amarah, dan tentu saja itu tidak enak. Dan, masyarakat Australia yang vulgar akhirnya bikin kartun yang sama, SBY menaiki orang Irian yang berekor dan bersenggama. Nah, di sini karikatur itu juga bikin orang marah 'kan," jelas GM. "Karena itulah saya setuju komentar Menlu Downer. Dia mengatakan, 'ah itu selera rendah… Ya, saya juga menganggap itu selera rendah…"

Menurut Yusuf Susilo Hartono, seorang perupa yang mengikuti terus karya-karya GM Sudarta, sikap hati-hati GM tidak terlepas dari gaya kepemimpinan surat kabar Kompas -- yang dianggapnya berpengaruh besar atas Sudarta dan karya-karyanya. "Tapi yang menarik adalah perkembangan karya mas GM, dari awal sampai sekarang, yang menurut saya ada beberapa fase," kata Yusuf Susilo.

Waktu masih mudah, menurutnya, gambar-gambar GM tidak seindah seperti sekarang, tapi lebih peka dan keras dalam menafsirkan keadaan. "Tapi setelah ketemu Pak Jacob Oetama, mas GM tahu harus bagaimana membuat kartun yang gaya jawa sesungguhnya," kata Yusuf Susilo. "Tidak ada pretensi mengubah seseorang, tapi memperbaiki, itu pun kalau bisa."

Karikatur Tepo Seliro

KENDATI dianggap terlalu bersikap hati-hati, tidak berarti karya-karya GM - yang pernah memenangkan penghargaan karikatur di Jepang -- sepenuhnya bebas sensor. "Seperti kartun tentang DOM (daerah operasi militer) Aceh, yang huruf O- nya saya buat seperti tengkorak, itu nggak pernah kita muat, karena Pak Yakob bilang itu terlalu seram..nanti marah. Tapi saya gak apa-apa," papar Sudarta.

Penasaran akan jawabannya, saya lantas bertanya lebih lanjut: "Seingat Pak GM apa alasannya pelarangan itu?"

"Terlalu tajam dan lucunya jadi kurang dalam situasi perang kayak gitu (operasi militer) di Aceh."

"Jadi, gambar tengkorak itu akhirnya tidak pernah dimuat?" saya bertanya lagi.

Dia menjawab seraya tersenyum tipis, "Nggak pernah, tapi akhirnya saya pasang di pameran dan buku."

Kejadian seperti ini sering?

"Oh, banyak, banyak dan saya sadari itu.. Dalam beberapa hal saya emosional, inginnya menyerang. Nah, Pak Yakob ingatkan, bahwa kartunis itu tidak mendobrak, mengubah pendapat. Dia cuma melakukan misi perbaikan, itu saja."

Menyikapi seperti itu, apa yang sebaiknya yang dilakukan seorang karikaturis jika karyanya tak dimuat? Saya bertanya lagi.

"Ya, saya simpan, saya dokumentasikan. Nanti kan bisa dibukukan. Dan ini saya sadari. Di Indonesia itu seperti itu, hati-hati, tepo seliro, begitulah.."

Yusuf Susilo Hartono menganalisa, karya-karya karikatur GM Sudarta pada periode sekarang, memasuki fase kematangan "Perubahan mas GM itu menuju kematangan, baik kematangan pribadi atau Kompas, dalam menyikapi bangsanya," katanya.

Diakuinya, pada situasi yang serba bebas sekarang, para karikaturis menghadapi tantangan yang lebih rumit. "Karena semua orang bisa menyampaikan kritik," tandasnya.

Di mata GM Sudarta, berkarya melalui karikatur tidak harus bermuara kepada perubahan. Menurutnya, karya-karyanya lebih menjadi katup pembuka dari tekanan-tekanan sosial. Dan di dalam memerankan tugas seperti itu, Sudarta mengaku pernah mengalami semacam kelelahan akut. "Saya pernah sakit lebih 3 bulan, nggak tahu kenapa. Saya di RS Carolus pada tahun '85, tapi nggak pernah saya sakit apa, tipus bukan, panas tapi nggak jelas," ungkapnya.

Diagnosa dokter yang merawatnya juga mengatakan, semua hasilnya negatif, sehingga "dokternya sampai bingung," celetuknya. "sehingga saya dikira kena sawan."

Sampai kemudian, ketika para kolega dan teman-temannya menjenguknya, mereka memberikan semacam jalan keluar. "Teman-teman psikolog seperti Sartono Mukadis, dan pelukis Abas Alibasya bilang 'udah melukis saja'. Mereka bilang begitu, karena waktu itu saya terlalu banyak (berhadapan) dengan (situasi) Orde Baru, tapi saya nggak bisa bikin karikaturnya," jelasnya. "Akhirnya saya melukis, dan boom-nya sampai sekarang melukis juga untuk dana di luar GBHN, ha, ha.., "GM terbahak. "Keseimbangan saja kok mas, ternyata itu betul…"

Sebagai karikaturis yang dibesarkan surat kabar berpengaruh, Sudarta mengaku bersyukur. Dia tidak membantah jika profesi karikaturis sekarang masih dipandang rendah di dalam dunia jurnalistik di Indonesia. Namun Sudarta tidak menyalahkan siapa-siapa. Ini adalah bagian dari masalah yang lebih besar, begitu kata Sudarta dengan mimik serius.

Tapi saat ditanya alasannya kenapa berpakaian serba hitam, ayah dua anak ini kembali membuka senyumnya.

"Yang serius, kotor nggak kelihatan. Baju satu nggak kelihatan. Yang tidak serius, saya lihat masih ada suku-suku bangsa yang suka makai (baju) hitam, karena mereka berpendapat, hitam itu warna gelap, warna yang kita tidak tahu sebelum kita lahir dan sesudah hidup. Dan saya pakai hitam, ya itu lagi yang serius, kalau pakai hitam nggak kelihatan...,"lelaki berambut panjang itu tertawa.

Berapa setelan hitam yang bapak punya? Saya iseng bertanya. "Ha, ha, berapa dik?" GM menoleh kepada dua orang anaknya, yang sejak tadi mendampingi. "Ratusan… banyak sekali," celetuk salah-seorang anaknya. Wawancara akhirnya berakhir, dan GM menutup dengan gaya khasnya: santun seraya tersenyum. ***

 (Disiarkan Radio BBC Siaran Indonesia, oleh Heyder Affan, pada Rubrik Seni dan Budaya, Minggu, 8 Juli 2007)

No comments: