Aug 15, 2007

Dili, Agustus 2006

”JANGAN coba-coba berani jalan sendiri di kota Dili di atas pukul 5 sore, kalau ingin selamat,”  itu pesan yang saya terima dari seorang sopir taksi, yang kemudian menjadi sahabat, bernama Fransisco Carvalho, atau biasa dipanggil Siko.

Kejadiannya 1 hari setelah saya mendarat di kota Dili, awal Agustus 2006. Awalnya saya tidak percaya. Tapi tidak membutuhkan hitungan hari, malam pertama di kota Dili, akhirnya saya habiskan  di kamar dan ruangan makan Hotel Tourismo, karena di luar begitu sepi, dan memang tidak satu pun terlihat petugas polisi yang bertugas. Padahal, kata Siko, “Kalau situasi normal banyak orang pecaran di depan hotel, tempat abang menginap.”

 

Namun sejujurnya, yang layak takut adalah penduduk asli kota Dili, utamanya warga dari wilayah timur negara itu. Mereka inilah yang banyak menjadi korban kerusuhan 4 bulan sebelumnya. Pelakunya adalah orang-orang dari warga bagian barat, yang jumlahnya lebih banyak berdomisili di kota itu.

 

Siko, sopir taksi itu tadi, pernah begitu khawatir, saat saya minta diantar ke wilayah Komoro, tidak jauh dari Mesjid An-nur, sebuah wilayah yang rawan tawuran. “Saya antar abang, lalu saya segera pulang ya,” begitu dia mewanti-wanti – berulang-ulang.

 

Praktis yang telihat banyak di jalanan, setelah aparat polisi dilarang bertugas, adalah semacam satpam yang diorganisasi sebuah perusahaan keamanan bernama Maubere Security. Mereka biasanya digaji untuk menjaga rumah mewah, kantor –kantor bank, serta supermarket, dan kantor milik pemerintah. Tapi masih kata Siko, “mereka tetap saja lari ketakutan seperti kerusuhan kemarin.” 

Bagaimanapun untuk mengatakan bahwa keamanan di kota Dioli telah berjalan optimal, setelah kedatangan pasukan internasional dari Portugal, Malaysia, Australia dan Selandia Baru,  rasanya tidak sepenuhnya benar.

 

Pada hari keempat, setelah saya tinggal di Dili, misalnya, sebuah asap hitam masih mengepul dari kawasan Komoro, pertanda masih adanya pembakaran terhadap rumah warga timur. Juga masih terlihat aski pelemparan batu di sebuah lokasi pengungsi di kota Dili, persis di depan hotel paling mewah, Hotel Timor.

 

Dan bukan sesuatu yang bisa ditutup-tutupi lagi,  jika di antara pasukan internasional, ada persoalan ego atau persaingan di antara mereka. Seorang warga kota ini, yang enggan disebut namanya, bercerita, gara-gara tidak ada koordinasi diantara pasukan itu, kerusuhan sulit dikontrol.

 

Tapi seperti diceritakan mantan Gubernur Timor Timur di masa Indonesia berkuasa, yang kini menjadi anggota parlemen dari Partai Sosialis Demokrat, Mario Carascalao, warga kota ini tetap membutuhkan tentara asing, walau sebagian masyarakat membencinya.

Apa yang diutarakanya Carascalao itu tadi,  adalah gambaran betapa pemerintah Timor Leste lebih bersikap realistis dan bersandar sepenuhnya kepada bantuan negara-negara tersebut.

 

Tapi, tidak bisa dibantah, ini juga menunjukkan betapa lemahnya peran penegakan keamanan dan hukum pemerintahan Ramos Horta.

 

Kasus terakhir, adalah kaburnya  seorang pimpinan  tentara pemberontak dari penjara pemerintah di wilayah Bekora, yang dikesankan sebagai tidak seriusnya kerja aparat pemerintah. Dan contoh lain yang paling jelas, adalah ketika ancaman Perdana Menteri Ramos Horta untuk memindah paksa pengungsi dari tenda-tenda, gaungnya tidak pernah terdengar.

 

Puluhan ribu pengungsi tetap memilih menetap di tenda-tenda. Karena, menurut salah-seorang diantaranya, Agustinho, “pemerintah tidak bisa menjamin bahwa mereka tidak akan dibunuh warga bagian barat saat pulang ke kampungnya”.

Memang sudah ada upaya rekonsiliasi oleh LSM dan perorangan, tapi Siko, juga pendeta yang juga pimpinan komisi rekonsiliasi, Augustinho da vas Conselos, mengaku pesimis, persoalan itu bisa cepat selesai.

 

“Rasanya proses penyembuhan bakal meminta waktu yang lebih lama, daripada kasus serupa di jaman Indonesia berkuasa, karena konflik terjadi antara masyarakat Timor Leste sendiri.” Ini kata-kata yang diucapkan Augustinho, yang rumah dan perabotnya dikabar dan dijarah gara-gara dia berasal dari Timur, dan kakak lelakinta adalah petinggi tentara negara itu.

 

Dan kalau rekonsiliasi yang dipilih, agaknya sebagian warga kota ini, menyatakan sudah muak dengan kata-kata itu, karena, “kata rekonsiliasi hampir kehilangan makna,” kata  pegiat LSM dari Yayasan Hak, Amadio Hai. Dan biasanya yang dijadikan rujukan adalah proses rekonsiliasi dengan Indonesia yang dianggap mengorbankan orang-orang yang keluarganya dibunuh oleh milisi saat jajak pendapat tahun 1999.

 

Namun ketika saya tanyakan, kalau yang dipilih adalah jalur hukum, apakah perangkat negara Timor Leste sudah siap. Orang-orang yang paham akan seluk-beluk dunia hukum di negara liliput itu, akan mengatakan: proses hukum tidak akan mungkin terjadi, karena menurut Pastur Mastinho da Silva Gusmao dari Diosis Baucau, para elit politik di Timor Leste tidak ada yang bersikap tegas.

 

Itulah sebabnya dengan nada sedikit bergurau, Pastur Mastinho,  mengaku kepada saya, “Saya akan pindah warga negara, kalau aktor intelektual kerusuhan kemarin diseret ke meja hijau.” (Disiarkan Radio BBC Siaran Indonesia, dalam rubrik Kartu Pos, akhir Agustus 2006)

 

No comments: