Aug 13, 2007

Asap Kemenyan, bunyi “Dreng, dreng”, dan kisah tarian purba

DRENG, dreng…, ting, tang…, buuus…," bunyi genderang dan gending, serta asap kemenyan yang membumbung di salah-satu ruangan Musium Nasional Jakarta pada Kamis malam lalu, mengiringi kehadiran 7 orang penari pria di atas panggung. Mereka mengenakan penutup kepala blangkon, selendang, dengan gerak serba pelan, tetapi tetap terlihat tegap.

Begitulah adegan awal tarian klasik yang berumur lebih 300 tahun ciptaan Raja Mangkunegaran I, Raden Mas Said, berjudul Bedhoyo Mataram Senopaten Dirodo Meto. Dalam Bahasa Indonesia, tarian itu kurang-lebih berarti Tarian Kesatria Mataram yang bak gajah mengamuk…

Ketua pelaksana harian pagelaran ini, Agus Haryo, menjelaskan, tarian ini untuk mengenang 15 orang satria andalan Mangkunegaran dalam pertempuran dengan Pasukan Belanda di sebuah hutan, tidak jauh dari wilayah Rembang, Jawa Tengah, pada tahun 1756. "Pertempurannya berlangsung seru, pasukan Mangkunegaran berjumlah 85 orang, sementara musuhnya mencapai seribu orang," jelas Agus Haryo.

Dikisahkan dalam pertempuran itu, 15 orang prajurit Mangkunegaran tewas. Kejadian ini, tentu saja, membuat sang raja sedih luar biasa. Untuk menghormati kelima-belas prajurit itu, Raden Mas Said kemudian menciptakan tari tersebut. Itulah sebabnya, walaupun tarian itu berlatar peperangan, nada sendu lebih banyak terdengar dalam pagelaran tarian itu. "Memang di bagian tengah, ada nada minir, senduh dan itu sungguh mengharukan," kata Daryono, ahli tari klasik Jawa yang juga penari dari tarian ini.

Dan saat para penari beraksi di atas panggung yang didominasi warna hitam, para pengunjung - sebagian diantaranya adalah warga asing -- tidak ada satu pun yang beranjak dari tempat duduknya, selama lebih dari 1 jam pertunjukan. Mereka tampaknya paham bahwa tarian ini belum pernah digelar di publik dalam jangka waktu seratus tahun lebih. "Kita perkirakan, malah lebih 100 tahun," tandas Agus Haryo.

Agus menjelaskan, tarian itu tidak pernah dipentaskan lagi karena dilatari persoalan politik. Kesimpulan ini didapatkannya berdasarkan hasil diskusi dengan para peniliti dan ahli tari Institut Seni Indonesia Surakarta, serta data dari buku tentang restrukturisasi budaya Jawa. "Kenapa tidak pernah dipentaskan, karena akan menyinggung pemerintah Hindia Belanda dan keraton lainnya, sehingga diputuskan oleh keturunan Mangkunegaran 6 dan 7, agar tidak dipentaskan lagi," jelasnya.

Walaupun musuh utamanya adalah Belanda, tetapi sejarah juga mencatat, saat itu perpecahan tengah melanda anak-cucu pendiri Kerajaan Mataram. Perpecahan itu, seperti diketahui, menyebabkan berdirinya berbagai dinasti keluarga kerajaan di Yogyakarta dan Surakarta. Perpecahan itu, menurut Agus, kemudian dimanfaatkan pemerintahan Kolonial Belanda, dengan memecah-belanya. "Nah, makna tarian itu menjadi masalah yang sensitif, karena ditakutkan menyinggung keraton lainnya," jelas Agus Haryo.

Semenjak itulah, tari Bedhoyo Mataram Senopaten ini nyaris terlupakan, hampir hilang, sekian ratus tahun. Menurut Agus, setelah Mangkunegaran 1 diganti cucunya yaitu Mangkunegaran 2, mulai saat itulah tarian ini hilang dari catatan sejarah, sehingga tidak terdeteksi lagi. "Pernah ditarikan lagi saat pejabatnya adalah mangkunegaran 4, tapi setelah itu tidak pernah lagi, " jelasnya. Akibatnya kemudian, tarian itu tidak dikenal lagi, dan yang tersisa adalah gerak dasar dan gending yang masih dikenali.

Dan lebih dari seratus tahun kemudian, semangat untuk merekonstruksi kembali, itu muncul kembali. Para keluarga besar, kerabat serta dan orang-orang yang peduli terhadap keberadaan tari sakral tersebut berupaya menghidupkan kembali, bertepatan 250 tahun Puro Mangkunegaran di Kota Surakarta. Berbagai upaya disiapkan dan dilakukan untuk menghidupkan kembali tarian yang nyaris punah itu.

Rekonstruksi Ulang

MELIBATKAN ahli tari, dokumentasi sejarah, serta catatan pribadi sang raja, maka proyek rekonstruksi atas tari Bedhoyo Mataram Senopaten itu pun digelar. Pertanyaannya kemudian, seperti apa dan bagaimana mereka melakukan proyek rekonstruksi itu?

Daryono, ketua tim peneliti dalam proyek rekonstruksi tari itu, mengatakan, upaya ini relatif sulit dilakukan. Dia memberi contoh, setelah beberapa bulan 'mengembara', pihaknya hanya menemukan syair (cakepan tembang). Tapi mereka tidak putus asa, karena, "Berdasarkan riset fakta sejarah yang ada, kami akhirnya menafsirkan kembali fakta itu dalam bentuk abstraksi yang kami hayati, dan kami tuangkan dalam bentuk komposisi," terang Daryono, yang juga dikenal sebagai staf pengajar program pasca sarjana Sekolah Tinggi Seni Indonesia, Surakarta.

Dan, setelah memakan waktu berbulan-bulan, akhirnya rekonstruksi tari tersebut selesai sudah. Sebelum pertunjukan itu digelar pada Kamis malam lalu, saya sempat menyaksikan latihan terakhir mereka. Daryono, yang disebut koordinator dalam tarian itu, terlihat serius memimpin latihan itu.

Menurutnya, sebagai orang yang dipercaya sebagai penari Bedhoyo Mataram Senopaten, itu adalah tugas yang tidak main-main. "Seperti lain sekali, ketika akan menarikan Bedhoyo Mataram, karena ini khusus dan baru sekali teman-teman melihat bentuk bedhoyo ini ditarikan pria, karena selama ini penarinya putri, katanya."

Kejadian Aneh

LATAR belakang tarian yang sedemikian rupa, lanjutnya, juga membuatnya perlu berhati-hati. "Perasaan kami juga bangga, tetapi perlu juga kehatian-hatian, kepasrahan, 'kemenepan', yang kita bangun sejak lama, supaya dapat menghayati, agar nanti bisa memberi aura tarian itu sendiri yang imbasnya kepada para penghayat atau penonton," jelas Daryono.

Kesan sakral dari tarian itu, memang terlihat sebelum pagelaran itu Diwarnai asap dupa yang keluar dari tembikar yang dibawa seorang lelaki tua, Ketua panitia, Agus Haryo dihadapan pengunjung, membaca salah-satu surat dalam alquran. "Kenapa sakral, karena tarian ini menjadi monumen perjuangan. Ini luar biasa, karena tidak dimiliki Bedhoyo lainnya," ujar Agus Haryo.

Itulah sebabnya, masih menurut Agus, pihaknya melakukan berbagai persiapan yang, "tidak main-main, seperti melakukan selamatan, berdoa...," ujarnya.

Meskipun sulit dipercaya, Agus memberi contoh kejadian aneh sebelum pagelaran tari ini di Puro Mangkunegaran, pada bulan Maret lalu. Saat itu, katanya, tiba-tiba ada gempa. "Nah sekarang, Rabu kemarin, tiba-tiba ada gempa mengguncang Jakarta. Memang ini kesannya mistik, tapi, ya Allah.., ya mau dibilang nggak-sakral, tapi nyatanya sakral," kata Agus.

Upaya persiapan seperti itu, ternyata, tidak hanya dilakukan Agus dan panitia lainnya, namun juga kalangan penari. Daryono mengatakan, para penari bahkan mendatangi makam Mangkunegaran satu, untuk meminta semacam safa'at. "Kami juga melakukan pendekatan seperti dilakukan master-master tari terdahulu, yaitu mendoakan beliau, dan safa'atnya bisa direfleksikan kepada kami, yang punya niat baik untuk merevitalisasi karyanya," demikian penjelasan Daryono.

Dan seperti diharapkan Daryono, para penonton tampaknya menghayati tarian itu. Tepuk tangan berulang-ulang ditunjukkan para pengunjung, setelah gending terakhir dan penari menuruni panggung. Seorang penonton pria mengatakan "sangat indah", sementara penonton lainnya berkomentar "ini tari klasik yang punya nilai tinggi" dan lainnya berujar "pementasan ini istimewa sekali karena jarang digelar…"

(Laporan ini disiarkan dalam rubrik Seni dan Budaya, Radio BBC Siaran Indonesia, Hari Minggu 12 Agustus 2007, pukul 18 lebih 15 menit, oleh Heyder Affan)

5 comments:

dwi joko widiyanto said...

Dirodo Meta, kalau mengikuti SH Mintardja di cerita-cerita Api di Bukit Menoreh, adalah juga nama salah satu gelar atau formasi pasukan. SH Mintardja melukiskan formasi tentara itu memang seperti gajah besar, kalau dilihat dari atas. Ada bentuk gelar yang lain, misalnya Garuda Nglayang, Supit Urang, dll. Formasi itu menunjukkan juga tempat-tempat di mana seorang senapati, para pembantu dan prajuritnya menempatkan diri. Pada Garuda Nglayang, posisi senapati ada di paruh garuda, 2 orang pembantunya (mungkin setingkat kolonel ya? hehehe) berada di kedua ujung sayap. Supit Urang membutuhkan 4 kolonel, 2 orang di sisi kiri, dan 2 orang di sisi kanan, dan senapati biasanya di tengah agak ke belakang tapat di mulut udang.

Masih menurut SH Mintardja, Dirodo Meta membutuhkan tentara dalam jumlah besar, dan serangan memang bergelombang, tetapi lamban. Garuda Nglayang dan Supit Urang butuh lebih sedikit orang, lebih ramping, lincah, efektif, dan serangannya tajam menusuk. Pasukan bergelar Dirodo Meta lebih sering hancur oleh Supit Urang, walaupun makan waktu lama: gajah ngamuk itu akan dibiarkan masuk ke dalam mulut udang untuk kemudian keempat kolonel di ujung supit menjepitnya dengan serangan taktis yang mematikan.

Karena jumlahnya sedikit, aku meragukan prajurit Mangkunegaran itu pakai Dirada Meta. Hehehe...... selamat tahun baru Fan.

Affan Alkaff said...

Dwi, terima kasih dan selamat tahun baru pula... Membaca tulisanmu ini, seharusnya aku wawancara kamu tentang tarian ini.. aku sendiri sebelumnya nggak paham, dan ini pertama kali aku meliput tari tradisional dan klasik... hehehe :)

dwi joko widiyanto said...

halah.... wong keluargaku itu dari eyang (alm), paman, sampai ke aku fanatik sama sh mintardja. di kampung, kami sering menghabiskan waktu membaca sama-sama. mendiskusikan detil-detil cerita. liputanmu malah membuatku kangen....

tukang enamel said...

Salam Kenal ya...

♥3snaの kawaii said...

setuju mas... setahuku dirada meta adalah salah satu formasi perang pasukan kerajaan Demak Bintoro..
hehehe tadinya mau nambahin eh malah udah keduluan di bahas...

salam kenal sebelumnya... maaf kasih comment gak permisi dulu...
^________^

ditunggu invitation dan kunjungan balasannya