KUTULIS
selembar, tak jadi kukirim --dan kusimpan.
Sekian tahun kemudian, belakangan,
***
Namun, suatu saat, aku begitu mengebu-gebu. Mungkin lantaran aku pengecut dan tidak berani menghadapi ibuku secara langsung. Didampingi Ika, yang menepuk-nepuk atau membelai bahuku yang ringkih, aku menulis
pertengahan Nopember nanti, saya akan men
Kurang dari dua puluh empat jam,
***
Pagi itu hujan sangat deras. Hujan bulan November. Saking derasnya, aku menjadi takut sendiri, dan merasa seolah-olah itu kutukan atas
pembangkanganku. Isi
masih mengingat itu, dan tidak akan terlupa, sampai kapanpun).
“Tenang, ini cuma hujan kemanten. Harus kamu insafi,” suara keponakan ayahku, Ubaydillah, memecah risauku. Aku tinggal di rumah keluarga Bang Ubay –- begitu aku biasa memanggil lelaki 50-an tahun ini -- saat-saat menjelang pern
Tangannya memegang pundakku yang pendek. Kulihat dia tulus, senyumnya tidak dibuat-buat.
***
Tapi, hatiku tetap tak tentram. Waktu betul-betul membelengguku. Bayangan nafas ibu yang naik-turun, dan jalannya yang gontai dan renta, kembali melesat sekian detik, mengisi pikiranku. Di loteng rumah itu, aku begitu tak berdaya. Hujan begitu tiba-tiba mengguyur
“Cobalah berdoa, baca shalawat,” kali ini, suara itu keluar dari mulut kakak lelakiku, Kazim. Entah kenapa, aku dengan sadar kemudian berkomat-kamit membaca doa-doa, yang kuakui jarang kulakukan. Aku jadi ingat Tuhan.
Kakakku yang lelaki ini memang, anak kesayangan ibuku, setidaknya itulah penilaianku setelah tinggal bersama dia hampir lima belas tahun --aku berpisah secara fisik dengan dia saat dia kuliah di Jember, saat dia bekerja di Jakarta, dan ket
Dalam banyak hal, kakakku itu --usianya dua tahun lebih tua dari aku-- begitu melindungi. Terkadang dia menempatku sebagai adik yang harus dilindungi. Aku begitu mengaguminya. Dulu saat kanak-kanak aku sering menaruh rasa iri kepadanya, karena perangainya yang membuat ibuku begitu percaya kepadanya.
Aku jadi teringat, saat kakakku sedih lantaran ditolak lamarannya oleh sebuah keluarga keturunan Arab dengan alasan tak jelas. Kakakku menjadi gampang melamun --suatu hal yang jarang kujumpai sebelumnya. Ini terjadi, saat kakakku itu kerja di sebuah percetakan di Jalan Pramuka, Jakarta. Kerutnya di dahi menonjol, dan tatapan matanya kosong. “Menurutmu bagaimana, Fan” (aku berfikir lama, dan aku tak bisa menjawab). Dan, aku menangis bahagia saat kakakku lelaki itu men
sudah di Jakarta, dan baru bisa sampai di kotaku sehari menjelang hari H, tak banyak membantu kakakku. Alih-alih bantuan uang, bantuan fisik-pun tak kulakukan. Barangkali, itulah tangisanku yang begitu keras terdengar seumur hidupku.
***
Sabtu, 19 November 2000, di atas jam 10 pagi, dengan mendung masih tersisa. Aku dan istriku, akhirnya, duduk di pelaminan, dan di sisi kiri tidak ada ibu dan ayahku (ayahku saat itu sudah renta, dan tidak siap berpergian jauh). Kakakku lelaki, Kazim, dan kakak perempuanku tertua, Salmah, menggant
***
Aku tahu kenapa ibuku tidak mau datang ke resepsiku pern
***
”Saya merasa menjadi orang Arab, setelah Anda bertanya; apakah saya
keturunan Arab.” Aku terheran-heran dengan sederet kalimat ini, sekitar tujuh tahun yang lalu. Kucermati berulang kali, tidak juga nyambung. Seolah untuk menyelaminya, dan mengerti dengan sadar, butuh pengalaman yang panjang, juga berliku. Lalu, seiring dengan berlalunya waktu, dan banyak hal yang mendesak kupikirkan dan kukerjakan, aku mencoba melupakan kalimat itu -- yang dimunculkan dalam sebuah wawancara sebuah tabloid dengan seorang mantan menteri, Fuad Hassan, yang menurut pewawancara adalah seorang lelaki keturunan
Arab.
Kini, aku bisa sedikit memahami kalimat itu, setelah hampir empat tahun aku hidup satu rumah dengan istriku, Ika. Perempuan yang kun
nantinya akan memaksa Aida untuk men
malam, untuk sebuah perbincangan yang panjang-lebar - kadang sambil lenganku merengkuh lehernya).
“Jawabanku adalah pengalamanku,” begitulah yang kubisikkan kepada istriku. Aku lantas mulai bercerita. Kebetulan, di sekitar Februari, lebih dari dua tahun lalu, aku bertemu seorang teman, bekas aktivis pers mahasiswa, dan kini wartawan sebuah koran ibukota. Dia mengenalkan aku ke seorang pengurus ormas Islam,
dan sambil tertawa dia bilang: “Ini juga jamaah, habib, asal Malang.” Aku
tak tertarik dengan kalimat itu, dan seperti biasa aku cuma diam. Kepada istriku, aku lantas bilang yang ada di pikiranku, lalu muncul selebatan pertanyaan dan sekaligus jawaban, yang saling masuk dan tindih. Aku berdialog dengan diri sendiri, kataku lagi, dan tidak membutuhkan kesaksian orang lain. Istriku balik merangkulku, dan masih takzim mendengarkan ceritaku. “Aku bisa
memutuskan siapa aku sebenarnya, bukan temanku tadi, atau siapa saja.” Makanya aku merasa heran, kenapa orang melihat seseorang dari penampilan fisiknya, hanya karena hidungnya, atau rambutnya yang setengah
“Tapi, aku cuma diam, tertawa, menertawakan betapa tak ada gunanya mengeluarkan kata-kata,” timpalku, saat istriku mulai bertanya kenapa aku tidak menangkis omongan orang itu. (Yang sering kukutip adalah ucapan pelukis minimalis asal
Bandung, Jeihan, diam adalah pusat dinam
Istriku akhirnya tertidur di dadaku yang tipis, sementara ceritaku belum tuntas. Sambil menahan dingin malam, aku malam itu teringat pengalaman sekitar sepuluh tahun lalu: aku hampir beradu fisik lantaran temanku memanggilku Arab.
***
Pikiranku kemudian menerawang jauh. Aku teringat, saat aku menjelang remaja, ayahku, member
Belakangan ini, aku mulai bertanya-tanya, kenapa puisi itu diber
Ayahku adalah anak tunggal, dari ayah seorang pedagang keturunan Arab, sementara ibunya seorang Jawa (namanya Sofiatun, dan aku tidak pernah melihat fotonya, meski kadang-kadang aku berimajinasi wajahnya seperti kebanyakan orang Jawa). Aku ingat betul, ayah acap bercerita ihwal ibunya yang bukan keturunan Arab. Tetapi, sebetulnya yang lebih banyak bercerita soal ini adalah ibuku, Syifa, dan selalu diulang-ulang, sehingga aku --juga
saudara-saudaraku-- ingat betul ditail-ditail ceritanya. “Walid kasihan sekali, mulai kecil dia dipisahkan dari ibunya,” Ibuku, suatu saat, membuka cerita. Aku dan tiga saudara perempuanku dan kakak lelakiku, dengan seksama,
mendengarkannya.
Walid adalah nama istilah lain ayah, yang kami gunakan untuk memanggil ayahku, yang bernama Ahmad. Karena kakekku bernama Muhammad, sementara pada keluarga keturunan Arab, nama keturunan di belakangnya --selain nama fam-- selalu dicantumkan, maka ayahku memendekkan namanya menjadi AM Alkaff (A adalah sinonim Ahmad, sementara M kependekan dari Muhammad, sedangkan Alkaff adalah fam keluarga Walid). Penyingkatan nama seperti ini lazim, atau tepatnya mode, pada jamannya Walid muda.
Saat itu, ada bintang filem Indonesia, yang juga menyingkat namanya menjadi AN Alcaf. Cerita tentang Walid yang dipisahkan dari ibuku, seingatku, tidak pernah diungkap secara gamblang. Kadang-kadang, tatkala aku yang mulai beranjak dewasa, timbul keinginan menganalisa kenapa peristiwa itu terjadi. Aku tidak begitu ingat, tetapi samar-samar aku teringat cerita, hal itu dilakukan
keluarga Walid karena ibunya bukan keturunan Arab. “Bayangkan betapa sedih ibunya, bertahun-tahun tidak melihat anaknya. Barulah saat Walid menginjak usia 17 tahun, ibunya sakit, dan dibawalah dia ke Jember, tempat ibunya berbaring sakit,” papar ibuku.
Belasan tahun lalu, aku barangkali tidak bisa menyelami perasaan Walid, juga bagaimana kesedihannya. Tetapi aku ingat, suatu saat Walid ingin betul berziarah ke makam ibunya, yang menurutnya, tidak diketahui tempatnya. Dalam hari-hari besar agama, di sela-sela bertemu keluarga, ada tradisi keluarga kami untuk menziarahi makam keluarga. Saat itulah, Walid mengajak beberapa
anaknya, termasuk aku, untuk mencari makam ibunya, yang letaknya di
pinggiran kota Jember, Jawa Timur. Beruntung, ada saudara jauh Walid dari ibunya yang mengetahui makam tersebut. “Fan, kamu itu punya saudara dari Indonesia asli, loh,” begitulah yang keluar dari mulut Walid, yang diucapkan kepada aku dan anak-anaknya yang lain.
Beberapa kali Walid, dengan mengajak ibuku, menghadiri pertemuan keluarga dari ibunya, di sebuah kota kecamatan, di luar kota Malang. Beberapa orang diantaranya dikenal Walid sebagai aktivis PDI, pengagum Soekarno. Dalam beberapa kali pertemuan, Walid lantas diberi silsilah keluarga ibunya, yang
kalau dilacak-lacak, maka saya adalah keturunan Sultan Banten. “Jadi, kamu itu keturunan raja-raja Banten,” cetus Walid, yang dibarengi ketawa kami semua. Foto-kopian silsilah itu masih saya simpan.
***
Sejak pindah ke kota Malang, sebuah kota di pedalaman di Jawa Timur, kira-kira 90 kilometer dari Surabaya, di tahun 1970, Walid jarang bergaul dengan orang-orang di sekitarnya, tak terkecuali masyarakat keturunan Arab, di kota ini. Sebelumnya kami tinggal di kota Palembang, tempat Walid dibesarkan. Hanya saat-saat undangan pern
Orang-orang Arab di kota ini kerap memanggil Walid dengan istilah ustad atau guru.
Agaknya keengganan Walid bergaul dengan orang-orang keturunan Arab di sekitarnya, ditiru oleh anak-anaknya. Rumah kami (bekas gereja, milik seorang Jawa-Kristen) yang letaknya di pinggir sungai, relatif jauh dari Kampung Arab, meskipun letaknya di kelurahan Kauman, di pusat kota. Sejak kecil-kecil, kami lima saudara menghabiskan waktu di sekolah sekuler, meski sore hari, kami juga diwajibkan mengaji di belakang mesjid Jami’. (Dibandingkan saudara-saudaraku, aku sendiri yang tidak tamat membaca Alquran, dan setahuku, saat itu, aku lebih banyak menghabiskan bermain bola ketimbang mengaji di depan guruku, yang acap mengatakan aku tidak seperti anak Arab kebanyakan, yang fasih membaca kita suci itu).
Aku dan saudara-saudaraku lebih banyak bergaul dengan anak-anak Jawa yang tinggal di belakang rumah. Pernah ibuku menasihati agar anak-anaknya membuka pergaulan dengan anak-anak keturunan Arab, tapi gagal. Apalagi, untuk menuju ke kampung Arab, kami harus melalui beberapa jalan besar --sebuah hal yang tidak mungkin bagi kami yang masih kecil-kecil. Jadi pertimbangan praktis yang lebih menentukan, begitulah kesimpulanku, belakangan ini, tentang alasan kami tidak bergaul dengan sesama keturunan Arab. Tetapi kadang-kadang ada masalah kecil juga di kampung. Mungkin, karena fisikku yang relatif berbeda dengan teman-teman di kampung, julukan Arab acap kuterima, saat itu: urap-urap bumbune kelopo, arek Arab irunge dowo (urap-urap bumbunya kelapa, anak Arab hidungnya panjang), begitulah canda mereka.
Saban hari aku --setidaknya sejak TK hingga mahasiswa-- bergaul dengan anak-anak kampung di belakang rumahku, lama-lama membuat aku merasa bagian dari mereka. Tidak ada jarak rasanya, meski saat aku pulang ke rumah, jarak itu diperlihatkan dan dipelihara.
Tetapi, setahuku, hidupku lebih banyak habis di kampung. Kedekatanku itu kadang-kadang membuat aku bertanya-tanya, seperti yang kualami saat mendengarkan pengajian seorang ustad, di serambi masjid Jami’ di depan alun-alun Kota Malang, di bulan Ramadhan. “Kamu kalau bicara dengan orang tua harus pakai
Bahasa Jawa-Kromo (Bahasa Jawa halus), itu namanya sopan,” ujar ustad itu. Aku, yang saat itu berumur sekitar 10 tahun, setelah itu dibuat bertanya-tanya, karena aku tidak pernah memakai bahasa itu dengan kedua orang tuaku. Pengalamanku itu tidak pernah hilang dari ingatanku.
***
Tapi, beberapa detik kemudian, aku teringat potongan adegan dalam sebuah film independen, yang kutonton di Erasmus Huis, di komplek Kedutaan Belanda, di Jakarta, di tahun 1997, yang bercerita tentang imigran Cina di sejumlah negara barat –Jerman, Australia. Anak-anaknya yang perempuan men
ini. “Agaknya, hidupku tak sepenuhnya mampu menjebol akar masa laluku, juga akar budayaku. Tampaknya, aku mengambang, tak jebol akarku, juga tak kuat akarku.”
Seolah mendapatkan jawaban yang kutunggu-tunggu, aku tersentak. Kuungkapkan pengalaman batinku ini kepada temanku, Krisna, yang ikut menemani menonton film itu (Krisna adalah temanku di aktivitas pers mahasiswa, dan kami bertemu lagi pada September 1996, saat menggeluti dunia wartawan di Koran Nusa di Denpasar, Bali, dan kemudian di Jakarta. Krisna yang ibunya Katolik dan ayahnya Muslim kini menetap di Swiss, beristr
***
“Kata adikku, kamu bakal susah meninggalkan akar budayamu. Suatu saat kita bertengkar, dan kamu kecewa, maka kamu akan kembali ke akarmu.” Kalimat ini j
Ia, kalimat itu, akan menetap lama di otak kecilku. Sulit untuk kulupa. Itulah yang diucapkannya, tatkala kami dibenturkan konflik menjelang pern
Suasana murung menyelimutiku. Di malam hari, saat itu kuhabiskan dengan melamun sendiri di kamar pondokanku, di kawasan tak jauh dari Terminal Manggarai, Jakarta. Dan, aku sulit tidur. Tapi, saat kalimat itu meluncur di hadapanku, yang ada kemudian bukanlah aku lalu balik ke belakang atau mulai menaruh rasa ragu, tapi sebaliknya.
Aku mengajak Ika, yang saat itu calon istriku, di sela-sela minum capucino di suatu malam, untuk menjelaskan s
“Kenapa harus kembali ke akar, kenapa kita mau dimanjakan perasaan itu, padahal kaki kita seharian, dari menit ke menit, adalah disibukkan dengan nulis atau cari berita. Kita kembali ke akar, atau tepatnya mampir, hanya saat aku ketemu ibuku atau keluargaku. Itu pun hanya saat hari raya…”
Calon istriku j
***
Hari-hari itu, sekitar tahun 2000, aku punya keinginan yang meluap-luap: memburu buku yang ditulis sarjana barat yang menulis tentang sejarah timbulnya suku-suku Arab asal Hadramut yang kini menetap di Indonesia.
Sebetulnya, saat kuliah, aku pernah menemukan buku itu di perpustakaan kampus. Tapi, saat itu, aku belum sadar akan akar, seperti sekarang ini. Aku lupa, sebetulnya ada yang memberitahu perihal buku itu, entah kapan. Tapi, yang jelas, aku pernah lihat buku itu –berupa fotocopian– di rumah salah-satu keponakan bapakku, juga kakakku pernah cerita soal buku itu. Saat hari raya tahun lalu, aku kembali melihat copi buku itu, di rak milik kakakku di Surabaya, Kazim. “Kalau masih sempat aku bisa copy di sini, lalu kukirim ke Jakarta.” Kakakku yang satu ini sebetulnya tertarik dengan dunia intelektual, mirip ayahku.
***
Terkadang perasaanku kubiarkan terhanyut saat mendengarkan suara Hadad Alwi, pelantun lagu keturunan Arab. Aku lupa judulnya. Kuulang-ulang kuputar, dengan harapan kerinduan itu segera mati. Kerinduan kepada sebuah akar, sebuah kerinduan psikologis yang pernah kuselami saat aku kecil. “Apapun kamu akan kembali ke akar,” begitulah celetukan teman SMA-ku, Abubakar, entah serius atau tidak, saat dia menceritakan istrinya yang sesuku dan sekampung. Itu diutarakannya kira-kira tahun 1994. Seolah, dia ingin menyejukkan hatiku yang saat itu memberontak. (Abubakar adalah kelahiran Bima, Nusa Tenggara Barat, teman sebangku di SMA
Islam, Malang, persisnya saat kelas 2 jurusan Sosial. Dia men
Seperti biasa, aku tak mendebat kalimat itu, dengan menampakkan urat yang mengencang di leher. Aku bukanlah orang yang pandai berdebat. Cuma tertawa, begitulah, meski otakku jalan terus, dan mencari jawaban sendiri, dan menemukan jawaban akhirnya, bahwa temanku tak selalu benar. “Kamu itu sebenarnya keras kepala, persis seperti aku,” kali ini kata istriku.
***
Seperti lazimnya anak-anak muda lain, di saat akil baliq, aku pun belajar memahami perempuan, dan berusaha mengaguminya. Setahuku, sampai batas mengagumi itulah, yang bisa kulakukan, saat itu, setidaknya sampai masa kuliah. Di kota Malang, sebuah kota yang kecil, segala aktivitasku seolah-olah dalam posisi diteropong, gampang diketahui. Tidak mungkin, rasanya, batas mengagumi perempuan itu bisa terlampaui, misalnya, dengan kemudian mengkonkritkan rasa mengagumi tersebut.
Kebetulan yang aku kagumi, saat itu, tidak ada satu pun yang berasal dari perempuan keturunan Arab. Mereka, di kota Malang, jarang bersekolah di sekolah-sekolah negeri. Di kampung, taman kanak-kanak, sekolah dasar, lanjutan pertama dan atas, juga kuliah, tidak kujumpai perempuan keturunan Arab yang kukagumi. Masalahnya, di dalam keluargaku, ada peraturan tidak tertulis, agar nantinya anak-anaknya, juga keturunan di bawahnya, men
Dan, semenjak tinggal di Bali, keinginan itu akhirnya terlampaui.
Akibatnya, di pulau itu, dan setelah tinggal di Jakarta, rasanya penaku mulai tumpul untuk sebuah puisi.
***
”Jadi, bagaimana s
***
Saat Idul Fitri, kira-kira satu bulan setelah kami men
Situasinya tampak nyaman, saat Ika kuajak ke Malang, beberapa hari setelah lebaran. Puncaknya, saat Aida, anakku, kuajak pula menjenguk neneknya di Malang.
Aku sempat bertanya-tanya kenapa Aida awalnya tidak mau digendong neneknya, tetapi segera kuhapus bayangan-bayangan jelekku. Tetapi, saat itu, apa yang kunamakan ketakutan-ketakutan yang dulunya pernah terlontar di keluargaku -– misalnya, sulit mempertautkan orang bukan Arab di keluarga kami-- tidak kujumpai. Ibuku sendiri pernah kuajak mampir ke rumah orang tua Ika, di Bintaro, dan ketakutan-ketakutan itu rasanya cuma isapan jempol.
***
Aida anakku, pada 20 Desember 2003, telah memasuki usia 2 tahun. Parasnya, kata banyak orang, ngangeni. Kulitnya putih dan warna bola-matanya coklat muda,
mirip mataku.
Aku lupa persis waktunya, tetapi sambil tertawa ibuku, entah serius atau tidak, suatu saat nyeletuk: ”Jodohkan saja Aida dengan Nazif.
Mudah-mudahan nanti Nazif jadi anak pintar.”
Nazif adalah anak kedua adik perempuanku, Henny. Nazif dua tahun lebih tua dari Aida. Di kamar ibuku, di Malang, potret Aida dan Nazif di pasang berdempetan, terpisah dari foto cucu ibuku yang lainnya. Aku tidak menjawab celetukan ibuku, tetapi pertanyaan istriku: “Jadi, bagaimana s
kembali.
***
(dimuat dalam buku Keping Kenangan, kumpulan memoar orang biasa, 2003)
6 comments:
kalau saling cinta, anakmu menikah dengan keturunan arab ya gak apa apa kan?
gak papa, Kris, entah Ika..
bisa baca di sini... http://ardina.wordpress.com/2007/05/19/rasis/
iya, Kris, aku udah baca itu...:)
Affan dan Ika, besar sekali perjuangan cintamu... Aku sih pro semua etnis kawin campur, biar gak ada perbedaan lagi, tapi namanya juga manusia, pasti tetep ada perbedaan yang dicari2....
sepakat Mil... dan makasih..
Post a Comment