Aug 9, 2007

kereta api listrik itu...




SEBUAH kenangan masa kecil, seketika membayang pada pagi itu, saat goyangan dan derit kereta api listrik itu membawaku ke Stasiun Sudirman (dulu Stasiun Dukuh Atas), tidak jauh dari Bundaran HI. Inilah rutinitas baruku, setelah aku dan Ika memutuskan naik kereta itu untuk menuju kantor, sejak pertengahan Juni lalu. "Lumayan, ngurangi capek naik mobil," kata istriku suatu saat.

Setelah menyiapkan segala persiapan anakku sekolah, sampai dia diantar mobil sekolah, maka tepat pukul 6 lebih 30 menit, kami bergegas bermobil menuju Stasiun Pondok Ranji. "Ada waktu 15 menit, sebelum kereta Sudirman Expres berangkat," kata istriku, mengapa memilih kereta ber-AC itu.

**
STASIUN Pondok Ranji, sebuah bangunan stasiun semi moderen, yang usianya sepertinya belum begitu tua. Letaknya tidak jauh dari Mal Bintaro Jaya, di sektor 3. Setelah memarkir mobil di lokasi parkir yang bisa menampung 20-an mobil (bayar parkir 3 ribu per hari, plus ongkos tukang jaganya 2 ribu rupiah), saya bergegas antri beli tiket seharga 8 ribu rupiah. Istriku membuntiku belakangan. Belasan pekerja atau karyawan, dengan wajah segar, tetapi bergegas, juga ikut antri..

Jika kereta api agak terlambat, saya bisa merasakan kenikmatan di stasiun itu. Mulai penjual koran yang setengah berteriak, hingga peluit penjaga stasiun yang terdengar nyaring, serta wajah-wajah tak dikenal yang menunggui kereta besi itu datang. Saya selalu membayangkan apa yang mereka rasakan, atau fikirkan..

Suara kepala stasiun, biasanya dengan aksen Jawa, kemudian mengabarkan kereta sudirman ekspres segera tiba. Beda dengan kereta diesel, kereta listrik tidak mengeluarkan suara gaduh. Tiba-tiba saja dia berada di depanku, dalam jarak kurang dari 2 meter.. Kami pun masuk ke dalam, dan kenangan masa kecil itu pun berputar kembali...

**
MENGAPA setiap anak kecil selalu suka kereta api? Itu juga jadi pertanyaanku. Dulu saat kanak-kanak, saat tinggal dengan orang tua di kota Malang, Jawa Timur, saya selalu memimpikan tinggal di dekat stasiun, atau setidaknya dekat rel kereta api. Dan ketika disuruh memilih naik bus atau kereta api untuk menuju Surabaya, maka saya akan serta-merta memilih yang terakhir -- juga saudara-saudaraku.

Setiap Ramadhan, usai sahur, saya dan teman-teman seusia, selalu menyempatkan datang ke stasiun kota baru. Biasanya kami berempat, sambil membawa paku ukuran besar, masuk ke stasiun itu, tidak lewat pintu resmi -- maklum masih tutup. Kami pilih jalur lain, yaitu sebuah bukit di sekitar jembatan di daerah yang namanya Embong Brantas, atau jalur lainnya. Sambil mengendap-endap, kami letakkan paku itu di atas rel yang kita perkirakan akan dilewati kereta. Dan ketika kereta itu melindasnya, maka paku itu akan menjadi gepeng, atau tipis. Jadilah dia pisau, yang akan kita gunakan untuk mengupas mangga muda atau buah lainnya...

Selain bikin pisau, saya dan kawan-kawan, biasanya juga menaiki kereta penumpang atau barang, untuk menuju stasiun kecil yang letaknya tidak jauh. Ngandol, begitu istilah kami dulu. Biasanya kami menuju Stasiun Lawang (kira-kira 20 kilometer dari kota Malang), atau Stasiun Kota Lama (masih bagian kota Malang, tapi staisun lama). Kadang jika diketahui petugasnya, maka yang kita dapatkan adalah dampratan -- tetapi itu tadi, selalu kita ulangi lagi, terus, hingga masa usia kanak-kanak itu berangsur hilang...

***
KINI di saat kereta api listrik itu melaju kencang, melalui Tanah Kusir (saya melihat genteng rumah mertuaku), Kebayoran Lama, dan Palmerah, serta Tanah Abang, godaan untuk menengok kebiasaan di waktu kecil, muncul kembali. Ingin rasanya membuka pintu, atau jendela, dan menengokkan kepala keluar -- membiarkan muka ini diterpa angin...

Tiba-tiba tanganku disentil istriku. Stasiun Sudirman sudah di depan mata. Beberapa detik kemudian, orang-orang berduyun turun dari kereta, dan aku ikut di belakangnya. Rutinitas keseharian kembali kami geluti lagi, lagi dan lagi... Lamat-lamat kereta itu tadi meneruskan perjalanannya menuju Depok, seiring lamunan masa kecilku hilang-tenggelam disapu kesibukan Jalan Sudirman...




6 comments:

krisna diantha said...

fotonya rek.....bikin kangen

Affan Alkaff said...

ayo, Kris pulang kampung saat lebaran, ntar kuajak keliling...

agung ainul said...

Woiii, tulisan ttg stasiun Malang mengingatkan masa kuliah di SBY, SBY-Blitar via Malang... Stasiun Kota Baru penuh kenangan), Suasana stasiun kota baru Malang yang paling enak menurutku, apa karena abis kepanasan di kereta dari SBY. Duuuuh pengen lagi ke Malang

Affan Alkaff said...

Ya, Gung, stasiun Kota Baru itu nyaman sekali. Dingin. Dan ingatkah, di stasiun itu, ada terowongan yang ada di bawah rel -- saat itu (1970-an), setahuku, cuma satu-satunya di Indonesia.. Aku juga kangen sekali mengujunginya, penginnya saat lebaran nanti...

agung ainul said...

Iya mas, menurutku sangat enak di stasiun Malang. suasananya itu lho...
Gak ada di stasiun lainnya, aku dulu kerasan walo nunggu lama disana. Aku dulu akrab dengan banyak pedagang asongan yang naik dari kepanjen ato wlingi...
Waaaaah pengen kembali jadi muda ya Mas...

Affan Alkaff said...

Gung, kayaknya nanti aku mudik (mudah-mudahan jadi), dan rencananaku naik kereta Gajayana.. Kusempatkan nanti mengabadikan sudut-sudut stasiun itu...makasih Gung..