Aug 29, 2007

Di Kramat, Kutengok Kamar Amir Sjarifoedin...




DI KRAMAT Raya, kutengok kamar Amir Sjarifoedin – mantan perdana menteri dan menteri pertahanan, yang namanya kini agak dilupakan. Diwarnai rasa ingin tahu, dan dibumbui sedikit romantisme, kudatangi beberapa ruangan yang disebut-sebut satu diantaranya pernah ditempati Amir -- saat dia mengambil studi hukum di Jakarta. Kamar itu terletak pada sebuah rumah, yang kini diubah menjadi Museum Sumpah Pemuda. Letaknya di Jalan Kramat Raya, nomor 106, tidak jauh dari kawasan Senen, Jakarta …

Dibandingkan Soekarno, Syahrir, atau Hatta, Amir Syarifudin memang jarang ditampilkan sosoknya – secara proposional -- dalam sejarah resmi bangsa ini. Lelaki pengagum karya-karya Shakespeare ini, lebih dikenal karena keterlibatannya pada peristiwa yang disebut sebagai pemberontakan Madiun 1948. Revolusi memakan anaknya sendiri, begitulah istilah Abu Hanifah, rekan satu pondokan Amir kala itu, dalam memotret perjalanan politik Amir.

Abu Hanifah, yang belakangan berseberangan secara ideologi-politik dengan Amir, barangkali benar. Tulisannya tentang sosok Amir di masa muda, yang ditulisnya dalam Jurnal Prisma lebih dari 20 tahun silam, layak ditengok untuk memotret Amir dalam wajah yang berbeda – wajah seorang lelaki yang sayang keluarga dan selalu membawa kitab Injil kemanapun. “Saya menyangsikan kalau Amir sepenuhnya tertarik dengan komunis, setahu saya dia tipe lelaki perlente,” begitulah kurang-lebih kesaksiannya.

Di dalam pondokan mahasiswa di Kramat itu, mungkin saja pada awalnya para penghuninya, seperti Amir, Abu Hanifah, atau Muhammad Yamin, tidak bicara politik. Para mahasiswa Stovia dan sekolah hukum itu tentu diharapkan segera lulus, untuk segera bekerja di pemerintahan kolonial -- dengan gaji rata-rata di atas pribumi. Tapi justru dari situasi seperti itulah, kesaksian Abu Hanifah terlihat lebih manusiawi dalam memotret sosok Amir. “Dulu, Amir dan Yamin acap terlibat cekcok, karena hal-hal kecil,” tulis Hanifah.

Tapi dari sejarah kita akhirnya tahu, rumah milik Sie Kong Liang akhirnya berubah menjadi tempat mengasah politik. Sukarno yang saat itu tinggal di Bandung, dan mendirikan PNI, acap mendatangi rumah itu, dan berdiskusi menggagas Indonesia di masa depan. Puncaknya adalah saat para pemuda, pada Oktober 1928, yang mengatasnamakan komunitasnya masing-masing, bersumpah untuk sebuah imaji, Indonesia…

Selasa kemarin, 79 tahun kemudian, di sebuah siang yang terik, saya datangi rumah itu – masih dengan semangat itu tadi. Seorang petugas yang mengenalkan diri sebagai Sri Sadono Wiyadi, menyambutku. Lulusan jurusan Sejarah Universitas Udayana ini, siang itu, tengah membimbing seorang siswa SMA, yang dapat tugas dari sekolahnya. “Di ruangan inilah, sumpah itu diucapkan…,” kata Wiyadi kepada anak yang rajin mencatat itu.

Wiyadi dengan sabar lantas mengajak anak itu keliling rumah yang dulu pernah sempati disulap menjadi hotel itu. Sebuah diaroma yang menunjukkan saat kongres pemuda itu digelar, serta 9 patung para penggagasnya, terlihat pula di sana. Deretan foto di seputar aktivitas pemuda dan organisasinya saat itu juga dipampang di semua dinding rumah itu. “Dan ini pasti adik tahu, ini adalah WR Supratman pencipta Indonesia Raya, dan ini adalah biola miliknya,” jelas Wiyadi. “Ada pertanyaan?” Anak remaja itu cuma mengangguk-angguk, dan mencatat lagi.

Kedatanganku ke museum itu, memang dalam kerangka liputan tentang program pemerintah yang bertajuk Lawatan Sejarah Nasional – sebuah metode pendidikan agar masyarakat dapat memaknai peristiwa sejarah nasional. Itulah sebabnya, aku menemui pimpinan museum untuk sebuah wawancara. Tapi di luar itu, kedatanganku juga dilatari semacam rasa ingin tahu tentang apa saja yang pernah melekat pada sosok Amir Syarifudin: kamarnya itu dan sejumlah potret kusam hitam-putih.

Dari kedatanganku itu, memang tak sepenuhnya menjawab rasa ingin tahu tersebut. Walaupun kupahami peran Amir tak sepenting Supratman, Soegondo Djojopoespito, atau Yamin, dalam kongres 79 tahun lalu itu, tetap saja profilnya sedikit diungkap. “Kalau datanya lengkap, dan ada dokumennya, pasti akan kita tampilkan pula” kata Wiyadi. Dia lantas mencontohkan foto-foto terbaru yang disumbangkan keluarga Hatta yang kemudian dipasang di tembok museum itu.

Tapi siapa mau mengungkap sebagai keluarga Amir Syarifudin sekarang ini, di tengah sikap sebagian masyarakat yang masih fobi terhadap kejadian ‘48 atau ’65? Saya jadi teringat sebuah gundukan tanah di sebuah pemakaman umum di Jawa Tengah, yang menurut laporan sebuah portal berita dipercaya sebagai makam Amir. Kuburan itu jauh sederhana jika dibandingkan makam tokoh seangkatannya yang acap disebut. Seorang saksi mata menuturkan, kuburan itu pernah dikunjungi sejumlah orang. “Mereka mengunjunginya secara diam-diam, dan tidak mencolok mata.”

Bagaimanapun aku akhirnya mafhum, bahwa sejarah adalah soal tafsir dan siapa yang menafsir. Beruntunglah museum Sumpah Pemuda itu relatif masih terawat, sehingga siang itu saya masih bisa membayangkan bagaimana Amir, Abu Hanifah, atau Yamin, dan lainnya, berdiskusi, memainkan biola, dan membayangkan Indonesia…

16 comments:

ika ardina said...

Aida harus bisa baca ini nanti...

Yiyik K said...

Sedih juga ya kalo masyarakat begitu takut utk menghargai orang yg punya peran dlm sejarah... Fobia-nya sudah begitu melekat sampe orang nggak bertanya lagi - atau gak tau bhw ada yg perlu dipertanyakan... :(

Affan Alkaff said...

sedih Yik..

Affan Alkaff said...

Kapan ya kita ajak Aida ke museum ini...

a alifandi said...

Iyo cak. Aku cuma tahu ttg AS dr buku Abu Hanifah "Tales of a Revolution" yg aku baca sekitar 20th lalu. Satu hal yg kuingat betul adalah penuturan AH dr cerita orang lain ttg eksekusi AS, yg konon menghadapi eksekusi itu dg menggenggam Injil.
Aku jg ingat ketika masih meliput di Depdagri untuk Jakarta Post ada delegasi dr marga Harahap yg ingin agar AS dijadikan pahlawan nasional. Aku nggak tahu apa keinginan itu terkabul. Baru tahu ketika itu bhw AS bermarga Harahap. Waktu itu ada teman Pos Kota yg nyeletuk, ternyata Mendagri Rudini dr marga Lubis ;)

Emilda Zaini Rosén said...

penjelasannya ada bhs inggris gak fan? atau guide nya?

Affan Alkaff said...

Cak, itu kayaknya satu-satunya data sejarah yang otentik tentang Amir Syarifudin di kala muda. Dan senang sekali membaca buku itu berulang-ulang. Dan aku baru ingat, AS minta dibawakan Injil sebelum eksekusi itu. Dan soal permintaan agar AS dijadikan pahlawan, aku baru tahu.. dan soal Rudini bermarga Lubis, aku tertawa terpingkal-pingkal membacanya.. :)))

Affan Alkaff said...

Lumayan Mil, ada penjelasan Bahasa Inggris-nya, dan soal guide aku tak tahu persis. Tapi saat aku ke sana siang itu, ada si lelaki dengan perut menonjol itu yang menemani anak SMA itu, Mil...

a alifandi said...

On a more serious note, masa-masa ketika AS masih hidup adalah ketika di Indonesia sedang terjadi pergumulan untuk menentukan bentuk negara Indonesia. Setahu saya Muso dan AS ingin Indonesia menjadi negara komunis, SM Kartosuwiryo kita tahu apa maunya, dan tentu saja ada visi Soekarno-Hatta. I'm glad S-H's vision won in the end.

Affan Alkaff said...

Saya sepakat, konteksnya saat itu memang perang dingin, dan ada tarik-menarik. Orang seperti Hatta, Syahrir, dan barangkali Soekarno, akhirnya tampil sebagai pemenang. Kita tak pernah tahu apakah ini artinya Amerika menang, dan Soviet kalah dalam tarik-menarik itu. Tapi mungkin sikap realistis Hatta dan Syahrir, kupikir sebagai jalan keluar yang pas untuk saat itu. Cuma apakah dengan demikian peran Amir, setidaknya pra huru-hara itu, tak diberi tempat kemudian...

a alifandi said...

Saya kira Amir dan orang-orang dari zaman itu punya tempat dalam sejarah Indonesia. Banyak tokoh dr zaman itu yg kita, atau saya, tak tahu banyak. Orang yg selama ini mengusik rasa ingin tahu saya adalah Abdul Kadir "Dul" Widjojoatmodjo, yg memimpin delegasi Belanda dalam salah satu perundingan dg RI. Ada sedikit cerita ttg dia di buku Laurens van der Post, dan ada foto dia di buku sejarah Indonesia, tp selain itu saya tak tahu. Ada yg punya info?

Affan Alkaff said...

menarik Anton, untuk mengetahui siapa Abdul Kadir Widjojoatmodjo. Bagaimana dia akhirnya memihak Belanda, dan bagamana sikapnya setelah perundingan itu rampung.. dan akhirnya setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia. Bisa cerita apa kisahnya di buku si Laurens itu...

Hiraga Keaton said...

Terimakasih, cak affan sudah membaca tulisan saya di detik soal makam Amir. (Sebetulnya 100% saya yakin makamnya disitu hehehe). Tahun 1951, makam itu sebetulnya pernah digali (untuk dirawat jasadnya) dan dimakamkan kembali di tempat yang sama, di-cor dan diberi bangunan permanen yang baik. Setelah itu, makam ramai dikunjungi hingga kadang menjadi semacam 'tempat wsiata.' Tapi pasca 1965, sekelompok orang dari luar daerah mengobrak-abrik makam itu untuk alasan yang picik...

Affan Alkaff said...

Her, terima kasih banyak, dan salam kenal.... Saat saya baca laporanmu, saya sangat takjub, dan sempat menggumam "menarik sekali ide dan laporan jurnalistiknya, karena seingatku belum ada yang menuliskan perihal makam Amir Syarifudin"... Dan Maaf Her, karena dalam tulisan itu, aku tak sebut Detik.com, dan cuma kusebut 'portal berita'.... Suatu saat saya, dengan mengajak anak-istri, pasti kami akan datang ke sana, seperti saya sudah datangi makam Bung Karno, Syahrir, Hatta, dan terakhir... he, he... Suharto.. Kita saling kontak ya, Her, dan sekali terima kasih atas laporanmu yang menjadi pendorong atau inspirasi tulisan ini... :)

Hiraga Keaton said...

...dengan senang hati, kalau Cak Affan mau...bisa saya kirim lokasinya dengan image capture dari Google Maps via email. Maklum, orang Karanganyar sendiri mayoritas tidak tahu makam itu. Email saya di hiragaid@yahoo.com. Nanti saya reply....

Affan Alkaff said...

terima kasih, saya akan kontak Anda secepatnya... :)